Oleh: Muhammad Fadllil Kirom*
SAYA lebih memilih membahas titik temu daripada titik tengkar. Belakangan ini ada kecenderungan sebagian aktivis memilih jalan “membenturkan” para kandidat calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berdasarkan latar belakang organisasi kemahasiswaannya.
Pola ini terjadi akibat bias konflik yang terjadi selama orde baru.
Untuk organisasi keagamaan seperti NU yang lahir jauh sebelum organisasi kemahasiswaan seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pendekatan “sentimen” dan “gengsi” antar alumni PMII dan HMI jelas tidak relevan.
Banyak pengamat yang tidak menyadari bahwa basis epistemologis NU itu adalah pesantren. Keilmuan kampus itu hanya menopang dalam mematangkan dinamika NU dengan modernitas atau realitas kekinian.
Sebagai Alumni PMII Unisma Malang tentunya saya berkesempatan untuk mengikuti berbagai pemikiran Yai Said Aqil Siroj. Kebetulan beliau dosen pasca sarjana di kampus Unisma.
Saya mengenal beliau setelah beliau kalah di perhelatan muktamar NU tahun 1999 di Lirboyo. Lebih dari 10 kali, kami berdiskusi dengan beliau terutama terkait pemikiran Aswaja sebagai manhajul fikr. Keluasan berpikir beliau, betul-betul menggugah semangat kami untuk terus belajar.