SUMENEP, Madura Expose – Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sumenep kembali menjadi saksi bisu sebuah ritual tahunan: Rapat Paripurna Laporan Hasil Reses.
Dalam rapat yang dihadiri oleh para pimpinan dan anggota dewan ini, retorika tentang akuntabilitas dan perjuangan aspirasi rakyat kembali digaungkan.
Namun, di tengah sorotan tajam terhadap proyek-proyek pembangunan yang bermasalah dan dugaan ketidaksesuaian, kegiatan ini terasa seperti sebuah formalitas yang kering dan hampa makna.
Ketua DPRD Sumenep, H. Zainal Arifin, dengan lantang menyatakan bahwa laporan reses adalah perwujudan akuntabilitas anggota dewan. Menurutnya, inilah bukti bahwa DPRD benar-benar menyuarakan kehendak rakyat.
“DPRD sesungguhnya telah memberikan sumbangsih terhadap upaya penyusunan APBD yang benar-benar mencerminkan kehendak dan aspirasi rakyat,” ujarnya disitat dari situs resmi sumenepkab.go.id.
Janji Manis di Atas Kertas, Fakta Pahit di Lapangan
Namun, pernyataan-pernyataan ini terasa ironis. Di saat yang sama, masyarakat Sumenep disuguhkan dengan polemik proyek pembangunan gedung DPRD senilai Rp 100 miliar yang kualitasnya dipertanyakan.
Laporan media dan pengakuan Komisi III sendiri mengindikasikan adanya “kejanggalan” dalam proyek tersebut. Sebuah kontradiksi yang menyakitkan: bagaimana mungkin dewan bisa mengklaim memperjuangkan aspirasi rakyat, sementara proyek yang menyangkut kepentingan mereka sendiri justru menjadi sumber masalah?
Inilah titik nadir dari krisis kepercayaan. Rakyat melihat para wakilnya berbicara tentang “kesejahteraan” dan “pembangunan,” tetapi di lapangan, mereka menyaksikan proyek-proyek yang memakan anggaran fantastis namun minim kualitas.
Laporan reses yang dibacakan dalam rapat paripurna mungkin terlihat rapi di atas kertas, tetapi apakah isinya benar-benar mewakili keluhan dan harapan masyarakat yang lelah melihat uang pajak mereka disalahgunakan?
Masyarakat Butuh Aksi, Bukan Retorika
Laporan hasil reses seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah. Namun, jika jembatan itu dibangun di atas fondasi yang rapuh—seperti halnya dugaan kualitas proyek gedung DPRD—maka fungsi utamanya akan hilang.
Rapat Paripurna ini bukan sekadar agenda rutin, melainkan ujian moral bagi seluruh anggota dewan.
Masyarakat tidak lagi membutuhkan janji-janji manis di ruang paripurna. Mereka membutuhkan aksi nyata. Mereka ingin melihat para wakilnya tidak hanya berani mengkritik, tetapi juga berani mengusut tuntas setiap dugaan penyimpangan.
Hanya dengan integritas dan akuntabilitas yang nyata, DPRD Sumenep dapat mengembalikan kepercayaan yang kini telah terkikis. Jika tidak, maka setiap rapat paripurna, setiap laporan reses, hanyalah formalitas yang menambah daftar panjang kekecewaan rakyat.
[eno/kab/dbs/gim]

















