SUMENEP – Penetapan empat tersangka dalam kasus korupsi Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Sumenep oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur memicu reaksi keras dari publik.
Kasus ini, yang merugikan negara hingga Rp26,3 miliar, kini tidak hanya menjadi sorotan penegakan hukum tetapi juga memicu spekulasi luas mengenai keterlibatan oknum pejabat dan Kepala Desa (Kades) yang lebih besar.
Keraguan Publik: Sanggupkah Hanya 4 Tersangka?
Kerugian negara yang mencapai angka fantastis Rp26.323.902.300 memicu skeptisisme di kalangan masyarakat Sumenep. Salah satunya diungkapkan oleh H. Rasidi, seorang warga kepulauan sekaligus mantan aktivis PMII, yang secara terbuka menyindir pihak penyidik.
“Apa benar Rp26 miliar uang hasil BSPS dinikmati 4 tersangka? Yang benar saja,” ujar H. Rasidi, mempertanyakan logika finansial di balik penetapan tersebut.
Ia menilai, kekayaan dari empat tersangka yang sudah ditetapkan—RP, AAS, WM, dan HW—tidak akan cukup untuk menutupi kerugian negara yang sedemikian besar. H. Rasidi pun mempertanyakan transparansi dan keseriusan Kejati dalam membongkar kasus ini secara tuntas, tanpa pandang bulu.
Status 50 Kades: Saksi atau Calon Tersangka?
Keraguan publik semakin menguat setelah terungkap fakta bahwa Kejati Jatim sempat memeriksa Kepala Desa dan fasilitator desa terkait penyelewengan dana BSPS.
Warga, seperti Irfan dari Sumenep, terang-terangan menanyakan apakah ada Kades yang sudah ditahan, mengingat jumlah Kades yang diperiksa sangat banyak.
Situasi ini menciptakan “teka-teki” besar: apakah Kades tersebut murni sebagai saksi ataukah mereka berpotensi menjadi tersangka berikutnya? Kecemasan pun terlihat di kalangan Kades yang memilih bungkam saat dimintai konfirmasi, mengisyaratkan tingginya risiko hukum yang mengintai.
Desakan Legislatif dan Isu Oknum Dewan
Desakan untuk menuntaskan kasus ini juga datang dari internal legislatif. Anggota DPRD Sumenep dari Fraksi PKB, Akhmadi Yasid, secara tegas meminta Kejaksaan untuk menggali lebih dalam, termasuk kepada mereka yang keterlibatannya masih samar.
“Kita ingin agar persoalan lebih digali lagi. Segera tuntaskan penanganan BSPS agar mereka yang terlibat memiliki kepastian hukum,” tegas Yasid.
Dorongan ini diperkuat oleh beredarnya isu sensitif mengenai dugaan keterlibatan oknum anggota DPRD Sumenep dalam skema korupsi ini, menambah panasnya tuntutan publik akan transparansi dan pengusutan tuntas.
Modus Fantastis: Pemotongan Dana dan Biaya Komitmen
Kejati Jatim memastikan bahwa kerugian negara Rp26,3 miliar diakibatkan oleh modus pemotongan dana bantuan yang sistematis. Setiap penerima program BSPS seharusnya menerima utuh Rp20 juta.
Namun, para tersangka diduga memotong dana tersebut melalui toko bahan bangunan, dengan rincian pemotongan:
- “Biaya Komitmen”: Dipotong antara Rp3,5 juta hingga Rp4 juta.
- “Biaya Laporan”: Dipotong antara Rp1 juta hingga Rp1,4 juta.
Dengan terbukanya “kotak pandora” korupsi ini, publik Sumenep kini menantikan langkah berani Kejati Jatim untuk menjawab teka-teki terbesar: apakah penyelidikan akan berhenti pada empat tersangka, ataukah akan menyeret oknum pejabat tinggi lain, termasuk Kepala Desa dan anggota dewan, untuk mempertanggungjawabkan kerugian negara yang fantastis ini.
[dbs/mmo/gim/fer]

















