SUMENEP. Kabupaten Sumenep, yang dikaruniai potensi minyak dan gas bumi (Migas) di wilayah perairannya, secara ironis sering kali merasakan dampak minimal dari kekayaan alam tersebut.
Meskipun menjadi daerah penghasil, Sumenep harus berjuang keras bahkan untuk mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang proporsional, serta mengawasi tanggung jawab sosial perusahaan kontraktor.
Kondisi ini memunculkan urgensi mutlak bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan DPRD Sumenep untuk segera mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengelolaan Migas.
Perda ini bukan hanya sekadar aturan, tetapi merupakan tameng hukum daerah untuk menertibkan aktivitas perusahaan dan memastikan kesejahteraan masyarakat lokal terpenuhi.
Tiga Pilar Utama Manfaat Perda Migas Sumenep
Perda Migas dirancang untuk menutup celah regulasi yang selama ini dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas dan merugikan daerah. Manfaat utamanya terbagi dalam tiga pilar:
1. Menertibkan Perusahaan dan Peningkatan Kontribusi Lokal
Selama ini, banyak perusahaan Migas yang beroperasi di Sumenep disorot karena tidak memiliki kantor perwakilan (home base) di wilayah Sumenep. Akibatnya, kegiatan operasional, perekrutan tenaga kerja, dan perizinan terpusat di luar daerah.
- Menetapkan Perizinan Lokasi: Perda akan menjadi payung hukum untuk mewajibkan perusahaan mengurus Izin Lokasi ke Pemkab, menertibkan status operasional mereka yang terkadang dianggap ‘ilegal’ di mata daerah.
- Mendorong Home Base Lokal: Kewajiban memiliki kantor perwakilan di Sumenep akan mempermudah koordinasi dengan Pemkab dan secara tidak langsung mendorong penggunaan produk lokal serta penyerapan tenaga kerja daerah dalam operasional harian perusahaan.
2. Menjamin Transparansi dan Efektivitas CSR
Isu paling sensitif di Sumenep adalah Corporate Social Responsibility (CSR). Meskipun perusahaan diwajibkan menyalurkan CSR, penyaluran dananya sering kali tidak transparan dan tidak efektif, dengan nilai yang dianggap kecil (misalnya, hanya Rp2 miliar per tahun untuk satu kecamatan penghasil).
- Mengatur Mekanisme dan Prioritas CSR: Perda dapat secara eksplisit mengatur kewajiban CSR, memastikan dana tersebut tidak ditentukan sepihak oleh perusahaan, tetapi disinergikan dengan program pembangunan daerah yang benar-benar dibutuhkan masyarakat (seperti kelistrikan, kesehatan, atau pendidikan).
- Menciptakan Akuntabilitas: Dengan adanya Perda, Pemkab memiliki dasar hukum untuk mengawasi dan mengevaluasi laporan pertanggungjawaban CSR, mencegah dana sosial ini menjadi “bias” dan memastikan manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pengeboran.
3. Memperkuat Posisi Tawar Daerah dalam Hak Partisipasi
Perda juga menjadi alat politik daerah untuk memperkuat perjuangan hak-hak ekonomi, terutama Hak Partisipasi (Participating Interest/PI) 10% dan DBH Migas.
- Dasar Perjuangan PI 10%: Sesuai Permen ESDM No. 37 Tahun 2016, KKKS wajib menawarkan PI 10% kepada BUMD. Perda Migas dapat menjadi komitmen politik daerah yang kuat untuk menindaklanjuti dan mengawal proses PI 10% ini, yang kerap alot dan memakan waktu bertahun-tahun.
- Memperjelas Alokasi DBH: Perda dapat mengatur bagaimana DBH Migas yang diperoleh daerah dialokasikan secara adil, terutama untuk wilayah kepulauan yang secara geografis paling dekat dengan lokasi eksploitasi dan terdampak langsung.
Kewenangan Bupati Menolak Perusahaan: Dibayangi Regulasi Pusat
Muncul pertanyaan: Apakah Perda Migas memberi bupati kewenangan mutlak untuk menolak perusahaan Migas yang ditentang masyarakat?
Jawabannya adalah “Ya, tetapi kewenangan tersebut sangat terbatas oleh hukum yang lebih tinggi.”
Kegiatan eksploitasi Migas adalah kewenangan Pemerintah Pusat, diatur oleh Undang-Undang Migas dan diawasi oleh SKK Migas. Kontrak kerja sama (KKS) ditandatangani antara perusahaan dan Pemerintah Pusat.
Namun, Perda Migas yang diinisiasi oleh DPRD dan Pemkab dapat memberikan kekuatan argumen hukum bagi bupati untuk menolak atau merekomendasikan peninjauan ulang, jika:
- Melanggar Perda: Perusahaan terbukti melanggar klausul yang diatur dalam Perda (misalnya, terkait perizinan lokasi, AMDAL, atau kewajiban home base).
- Kepentingan Masyarakat: Bupati dapat menolak rekomendasi jika perusahaan bertentangan dengan kepentingan mayoritas masyarakat dan tidak memenuhi standar lingkungan atau sosial yang ditetapkan.
- Memperkuat Partisipasi: Perda dapat memastikan partisipasi masyarakat menjadi pertimbangan utama dan terukur sebelum izin operasi diterbitkan.
Meskipun bupati Sumenep pernah menolak menghentikan eksploitasi Migas di masa lalu dengan alasan kewenangan ada di BP Migas/Pusat, adanya Perda Migas akan mengubah posisi tawar Pemkab dari sekadar ‘menerima jadi’ menjadi ‘mitra yang mengikat secara regulasi’ bagi perusahaan yang beroperasi di wilayahnya. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan kekayaan alam Sumenep benar-benar membawa kemaslahatan bagi warganya.

















