Belakangan ini, isu penyusutan lahan produktif di Kabupaten Sumenep kembali mencuat ke permukaan, seiring masifnya konversi lahan pertanian menjadi area perkantoran dan perumahan.
Fenomena ini bukan hanya sekadar persoalan tata ruang, melainkan sebuah krisis agraria yang berpotensi mengancam ketahanan pangan dan kesejahteraan petani lokal.
Namun, ironisnya, suara kritis dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumenep yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawal kepentingan rakyat, justru terdengar lirih, bahkan cenderung absen.
Sikap pasif ini memunculkan pertanyaan: mengapa para wakil rakyat yang semestinya berani mengambil sikap tegas, kini terkesan menepi dari medan pertempuran kebijakan?
Ketika Lembaga Legislatif Kehilangan Taringnya
Berdasarkan fungsi utama DPRD sebagai lembaga legislatif, salah satu tugas krusial mereka adalah pengawasan (kontrol) terhadap jalannya roda pemerintahan eksekutif.
Dalam konteks konversi lahan, fungsi ini sangat vital. DPRD seharusnya memastikan bahwa kebijakan pemerintah daerah, seperti penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) atau penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), tidak merugikan rakyat, khususnya para petani.
Namun, keheningan para anggota dewan dalam menyikapi persoalan ini menimbulkan spekulasi. Apakah ada tekanan politik yang melatarbelakangi sikap ini? Atau, jangan-jangan, mereka benar-benar merasa gentar pasca-insiden yang menimpa anggota dewan di tempat lain, seperti yang disinggung dalam artikel yang Anda lampirkan?
Ketakutan seperti ini, jika benar adanya, adalah sebuah anomali dalam sistem demokrasi. Seorang wakil rakyat, secara etis dan konstitusional, telah disumpah untuk berani membela hak-hak konstituennya, apa pun risikonya.
Rasa takut tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan tanggung jawab. Jika nyali anggota dewan ciut hanya karena ancaman, lantas siapa lagi yang bisa diandalkan rakyat untuk menyuarakan aspirasinya?
Mandat Politik dan Tanggung Jawab Moral
Isu konversi lahan di Sumenep merupakan contoh konkret bagaimana kebijakan publik secara langsung berdampak pada kehidupan masyarakat. Lahan pertanian yang kian menyusut tidak hanya mengurangi produksi padi dan jagung, tetapi juga merampas mata pencaharian ribuan petani.
Ini adalah persoalan yang membutuhkan intervensi politik yang kuat dan tegas. DPRD memiliki instrumen hukum untuk melakukan hal tersebut, mulai dari hak interpelasi (meminta keterangan kepada pemerintah daerah) hingga hak angket (melakukan penyelidikan).
Sebagai wakil rakyat, para anggota DPRD Sumenep memiliki mandat politik dan tanggung jawab moral untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya. Mereka harus segera berani bersuara dan mengambil langkah konkret.
Membiarkan konversi lahan produktif terus terjadi tanpa kontrol sama saja dengan mengkhianati amanat rakyat. Ini bukan lagi sekadar persoalan teknis, melainkan sebuah pertaruhan integritas dan keberanian dalam menegakkan keadilan agraria.
Rakyat Sumenep menunggu aksi nyata, bukan sekadar janji kosong. [*]

















