Scroll untuk baca artikel
Headline NewsPilkada

Ibnu Hajar, Politik “Melacurkan Diri” Jelang Pilkada Mendistorsi Nilai-Nilai Budaya

Avatar photo
724
×

Ibnu Hajar, Politik “Melacurkan Diri” Jelang Pilkada Mendistorsi Nilai-Nilai Budaya

Sebarkan artikel ini
Budayawan Sumenep Ibnu Hajar/Istimewa.

Sumenep, Maduraexpose.com— Kekhawatiran Ibnu Hajar sebagai Budayawan akan terjadinya distorsi nilai-nilai luhur budaya Sumenep menjelang Pilkada bukan tanpa alasan.

Ibnu Hajar melihat kemapuan para politisi (meski tidak keseluruhan) dalam mempertahankan nilai-nilai budaya politik yang santun dan religius makin menipis.

“Politik budaya, seharusnya para politisi kita (di Sumenep) itu membangun politik budaya. Jadi berpolitik dengan sandaran kebudayaan, dengan sandaran luhur budaya yang dimiliki masyarakat kita,” ujar Ibnu Hajar melalui Voice Note yang diterima Maduraexpose.com, Rabu 29 Mei 2024.

Sebagai orang Sumenep yang diberi tanggung jawab sebagai Budayawan, Ibnu Hajar mengajak seluruh pihak, terutama para politikus di Kota Keris ini agar tidak mengabaikan prinsip-prinsip kebudayaan.

“Jangan memberi contoh, dalam artian, memang dalam dunia politik sah-sah saja, mendaftarkan kesana-kemari, karena itu sudah aturan misalnya, tapi bagaimana mendaftar itu membangun paradigma politik budaya , jangan budaya politik yang saya sebutkan tadi itu terbangun,” imbuhnya dengan pesan suara yang sedikit rumit dan penuh metafor.

Ibnu melampir analisanya dengan adagium Madura yang sangat terkenal tentang keris, yang dimaksudkan memberikan pemahaman akan pentingnya memegang prinsip.

“Makanya adagium Madura itu “Mun keras,akerres, bukan keras menubruk macem-macem, tapi memiliki prinsip. Orang Madura itu kan punya prinsip, keris itu kan memiliki simbol “Mun Keras, Akerres”, artinya para politisi kita , pendaftar-pendaftar itu mamiliki prinsip,” imbuh Ibnu Hajar seperti menyindir sejumlah politisi yang hendak maju dalam kontestasi Pilkada Sumenep 2024.

Ia pun menjelaskan secara detail apa itu prinsip yang dinukil dari adagium bahasa Madura tersebut.

“Prinsipnya apa, “Bhuppa’ Bhâbhu’ Ghuru Rato”
, memegang teguh amanah dari orang tua, dari guru. Guru-guru kita kan para kiai, kita hidup di masyarakat pesantren, jadi harus berpegang teguh, nah ini yang saya katakan, mun “Kerras Akerres”, jadi teguh memegang prinsip,” tandasnya.

Masih kata Ibnu Hajar, dalam berpolitik, seorang politisi harus mampu membangun budaya politik yang ujung-ujungnya tidak merusak nilai-nilai atau distorsi.

“Politik Budaya yang seperti ini harus dibangun, jangan membangun budaya politik. Mun “kerras Akerres, Mun Soghi Pasoghe’: itu artinya menjadi sandaran bagi kaum yang lemah, bukan membeli suara yang lemah itu loh, Mun atani bakal atana’ itu maksudnya kalau kita menabur kita menuai, misalnya kalau kita menabur budaya politik yang seperti itu diawal-awal, dia akan menuai juga pada akhirnya, jangan salahkan masyrakat kita kalau terjadi sebuah distorsi, tapi politik budaya yang dibangun disini,” timpalnya lebih rinci.

Dirinya melanjutkan soal istilah atau falsafah orang Madura tentang “Mun atani, atana’ (kalau bertani bisa menanak nasi,Red), itu tidak hanya diartikan secara datar-datar saja.

“Artinya, kalau kita menanam kita akan memasak apa yang kita tanam , kalau tadi yang kita tabur, akan menuai. Artinya ada singkronisasi, ada kolektif kolegial antara pemimpin yang dipimpin,” lanjutnya.

“ Jadi, saya tahu kok, dan insya Allah mereka sadar secara budaya bahkan secara agama, dan diantara kamu adalah pemimpin, dan kelak dihadapan Allah akan dimintai pertanggungjawabannya. Tapi kalau sudah diawal ini sudah “budaya politik” sudah terbangun, artinya kata orang Madura, sudah tak tahu malu, hanya karena kekuasaan misalnya, mereka berani “melacurkan diri” sehingga mendistorsi (merusak) nilai-nilai budaya saya takutkan, kekhawatiran. Ya harapan saya, politik Sumenep itu politik santun, memegang teguh pada prinsip-prinsip dalam konteks sekarang ini,” pungkasnya. [*]

Sumber:—
Editor: Ferry Arbania