Scroll untuk baca artikel
KOLOM

Hilangnya Marwah Partai Ka’bah

Avatar photo
173
×

Hilangnya Marwah Partai Ka’bah

Sebarkan artikel ini

Oleh: Andi Ryansyah

BARU-BARU ini, dua kubu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berseteru yakni Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta Djan Faridz dan Ketua Umum PPP versi Muktamar Surabaya Romahurmuziy alias Romy menunjukkan sinyal mendukung pasangan calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saipul Hidayat pada Pilkada DKI putaran kedua.

Yang menarik, alasannya mendukung calon gubernur yang dianggap ‘Penista Agama’ berharap partai koalisi penguasa (dimana PPP ada di dalamnya) tidak ingin pecah.

Sungguh menarik, PPP yang saat ini ada dua kubu dan susah bertemu, justru bisa disatukan oleh pasangan yang ditolak para ulama. Wajar jika ambisi PPP ini dinilai tak lagi berkepentingan Islam, lebih hanya kepentingan sesaat saja.

Kasihan betul partai ini! Sudah pecah jadi dua kubu, dalam kekuasaan cuma jadi emperan, dukung calon gubernur yang menista agama pula. Mestinya mereka malu dan menjaga harga diri. Itu kalau mereka mau berkaca pada sejarahnya yang gigih memperjuangkan syariat dan aspirasi umat.

PPP dan Syariat Islam

PPP memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia, khususnya umat Islam Indonesia. Selama penguasa Orde Baru (Orba) bertahta, sudah enam kali Pemilu terselenggara, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Rutinnya hajatan Pemilihan Umum (Pemilu) ini sayangnya tidak dibarengi dengan mutu pelaksanaan Pemilu.

Pemilu berjalan tidak demokratis. Hanya sebagai alat legitimasi pemerintah. Bukan sebagai alat demokrasi. Intimidasi, rekayasa, mobilisasi, dan kecurangan-kecurangan mewarnai pelaksanaan Pemilu. Pemilu diselenggarakan lewat sebuah proses yang terpusat pada tangan-tangan birokrasi.

Tangan-tangan ini tidak hanya mengatur hampir semua proses Pemilu, tapi juga berkepentingan merekayasa kemenangan bagi partai penguasa, yakni Golkar. Dalam setiap Pemilu, kompetisi ditekan seminimal mungkin dan kebebasan serta perbedaan pandangan dilarang (Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, 2008). Tak pelak Golkar selalu menang.

Pada Pemilu 1977, ketika partai-partai Islam seperti NU, Perti, Parmusi, dan PSII sudah berfusi menjadi PPP, persaingan antara Golkar (mewakili partai secular), dengan PPP yang Islamis, berlangsung sengit.

Pemilu 1977 digambarkan sebagai perlawanan antara penguasa dan Islam (Sudarnoto Abdul Hakim, Thesis The Partai Persatuan Pembangunan: the Political Journey of Islam under Indonesia’s New Order (1973-1987), 1993).

Menghadapi Golkar ini, Ketua Umum Majelis Syuro PPP sekaligus Rais ‘Aam PBNU, Kiai Bishri Syansuri, mengeluarkan fatwa jelang Pemilu 1977. Ia tegaskan, “…wajib hukumnya bagi setiap peserta Pemilu 1977 dari kalangan umat Islam pria maupun wanita, terutama warga Partai Persatuan Pembangunan untuk turut menegakkan Hukum dan Agama Allah dalam kehidupan kebangsaan kita, dengan jalan menusuk tanda gambar Partai Persatuan Pembangunan pada waktunya nanti. … Maka barangsiapa di antara umat Islam yang menjadi peserta pemilu tetapi tidak menusuk tanda gambar Partai Persatuan Pembangunan, karena takut hilangnya kedudukan atau mata pencaharian maupun karena sebab-sebab lain, adalah termasuk orang yang meninggalkan hukum Allah.” (Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, 1991).

Golkar versus PPP ini tak cuma di Pemilu, tapi juga di parlemen. Pernah PPP menolak RUU Perkawinan yang diajukan penguasa karena bertentangan dengan ajaran Islam. Para Jenderal seperti Soemitro, Daryatmo, dan Soedomo sampai harus berhadapan dengan Kiai Bishri. Menghadapi masalah ini, Kiai Bishri mengumpulkan sembilan ulama besar di Jombang untuk membuat rancangan tandingan yang disalurkan lewat PPP di Jakarta.

Di antara rancangannya itu, menuntut penghapusan sebuah pasal yang menyatakan perbedaan agama bukan halangan bagi perkawinan, dan melarang pertunangan karena dapat mendorong ke arah perzinahan (Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, 1999).

Anggota Fraksi PPP yang hanya berjumlah 94 orang (dari 460 anggota DPR) berhasil menggagalkan RUU Perkawinan itu. Keberhasilan ini tak lepas dari dukungan organisasi pelajar, mahasiswa, pemuda umat Islam, dan tokoh-tokoh Islam di luar partai (Syamsuddin Haris, Ibid).

Salah satu tokoh Islam yang mendukung PPP adalah pemimpin Pondok Pesantren paling terkemuka di Jakarta, Kiai Abdullah Syafi’ie. Ia sampai mengundang alim ulama se-Jawa dan berbaiat menentang RUU Perkawinan (Ridwan Saidi, Kebangkitan Islam Era Orde Baru Studi Kepeloporan Cendekiawan Islam Sejak Zaman Belanda Sampai ICMI, 1993).

Soal kasus RUU ini, sejarawan Taufik Abdullah dalam bukunya Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (1987) menilai, perubahan RUU perkawinan oleh PPP adalah contoh dari kesepakatan ketika wilayah sakral dianggap terancam.

Kasus lainnya, PPP pernah memprotes aliran kepercayaan masuk dalam GBHN.

Kiai Bishri menemui Presiden Soeharto untuk minta agar kelompok aliran kepercayaan tidak diakui secara resmi. Sebab para pengikutnya adalah orang-orang “kafir dan musyrik yang tak jelas agamanya.” Kiai Bishri mengingatkan Soeharto, kalau pemerintah bersikukuh dengan kemauannya, maka “akan terjadi bencana” seperti terjadi di Sabah. Terjadi banjir, kemarau sampai “negeri akan hangus.”

Kemudian, PPP juga pernah menentang pelembagaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). PPP menolak bukan karena pedoman yang diajarkan secara resmi itu bertentangan dengan keyakinannya, melainkan khawatir di masa mendatang P4 menggantikan agama sebagai dasar pedoman hidup.

Misalnya, umat Islam akan shalat karena mematuhi sila pertama Pancasila, bukan karena taat pada agama. Dengan begitu, identitas Islam jadi tak jelas. NU juga khawatir penataran P4 nantinya akan menjadi batu pijakan perkembangan kebatinan.

Menghadapi perlawanan PPP, Golkar menawarkan pemungutan suara untuk menyelesaikan masalah pelembagaan P4 dan aliran kepercayaan. Cara Golkar ini adalah cara menyelesaikan masalah tanpa mau mengalah. Sebab PPP minoritas di parlemen. Kalau voting, PPP sudah pasti kalah. Dipojokkan begini, PPP meninggalkan sidang MPR, sebagai tanda protes menolak pelembagaan P4 . Walk out ini dipimpin langsung oleh Kiai Bishri, yang sebelumnya mengeluarkan fatwa soal ini.

Besoknya, pada pemungutan suara mengenai pengakuan terhadap kelompok-kelompok aliran kepercayaan, PPP juga walk out. Bagi Kiai Bishri, abstain atau angkat tangan merupakan reaksi yang terlalu lunak. Ia membaca sebuah hadits yang menunjukkan satu-satunya sikap yang pantas diambil adalah menjauhkan diri.

Demikian sebagian perjuangan PPP memperjuangkan syariat dan aspirasi umat di ring politik. Meski minoritas di parlemen, tapi PPP tak minder menunjukkan identitasnya sebagai Partai Islam, partai yang membela Islam, partai yang kritis, berani, dan tegas bersikap melawan kelakuan penguasa yang menginjak syariat. Sungguh berwibawa!

Tapi melihat kelakuan PPP sekarang, kita bertanya, masih pantaskah partai ini mengibarkan panji Ka’bah dengan gembar-gembor yang pernah sering disampaikan, yakni “Rumah Besar Umat Islam”?

Andai Kiai Bishri masih hidup, pasti beliau akan menangis sedih sekali melihat “anak-anaknya” yang kini telah durhaka ini.*

Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

[.hidayatullah]