Pengusiran disertai pembakaran rumah di permukiman anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Mempawah, Kalimantan Barat, jelas merupakan tindak kriminal. Pemerintah harus menghentikan laku anarkistis tersebut. Bagaimanapun, anggota Gafatar itu adalah warga negara yang harus dilindungi-termasuk harta benda mereka.
Selasa malam lalu ratusan orang membakar sembilan rumah di Dusun Moton Asam, Desa Antibar, Kecamatan Mempawah Timur. Daerah yang terletak sekitar 80 kilometer dari Pontianak itu merupakan permukiman anggota Gafatar. Aparat keamanan terkesan membiarkan pembakaran itu, yang meluluh-lantakkan rumah-rumah yang dibangun anggota Gafatar di atas lahan milik mereka.
Pembakaran dipicu tudingan dan berita-berita yang menyebutkan anggota Gafatar menyebarkan paham sesat. Selain itu, kelompok ini disebut sebagai perpanjangan dari Al-Qiyadah al-Islamiyah, Komunitas Millah Abraham, pimpinan nabi palsu Ahmad Mushaddeq. Akibat pembakaran, sekitar seribu anggota Gafatar kini menjadi manusia pengungsi.
Meski tak sampai jatuh korban jiwa, pengusiran disertai pembakaran membuktikan bahwa hak anggota Gafatar atas rasa aman dalam menjalankan keyakinan mereka sama sekali tak terlindungi. Aparat kepolisian harus segera mengusut dan menangkap para pelakunya. Perbuatan main hakim sendiri itu tak bisa dibenarkan. Pelakunya harus ditangkap dan diadili.
Bukan hanya kali ini kelompok minoritas di negeri ini mendapat perlakuan brutal lantaran keyakinannya dinilai tak sejalan dengan ajaran yang ada. Hal yang sama dialami oleh, misalnya, pengikut Ahmadiyah ataupun penganut aliran kepercayaan lain. Kita prihatin karena negara seperti tak berdaya menghadapi hal semacam itu.
Padahal hak hidup mereka dilindungi konstitusi. Pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan warga negara untuk berkeyakinan dan menjalankan keyakinan masing-masing. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan setiap warga negara berhak untuk hidup dan tinggal di wilayah mana pun di Indonesia. Dalam kasus Gafatar, jelas di sini telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Langkah pemerintah mengatasi masalah ini dengan memulangkan mereka kembali ke kampung halaman, antara lain di Jawa Timur dan Tengah, bukan solusi tepat. Ini penyelesaian sesaat. Apalagi di antara mereka banyak yang sudah menjual harta benda di kampung halaman demi bisa berdiam di Mempawah. Bukan mustahil pula, di kampung halaman sendiri, mereka akan ditolak.
Pemerintah harus melindungi anggota Gafatar. Pemerintah mesti menjadi jembatan dialog antara kelompok ini dan masyarakat. Selama mereka tidak mencuri atau melakukan tindak kriminal, tidak menghina agama lain atau mengancam pengikut agama lain, mereka tak layak dikriminalkan. Justru mereka yang melakukan hal sebaliknyalah yang mesti dijebloskan ke penjara. Dengan dalil ini, anggota Gafatar tersebut berhak untuk kembali membangun kampung mereka di Mempawah.
[TEMPO]