Beberapa tahun ini, kita banyak mendengar peradilan tingkat kasasi yang menjatuhkan hukuman berlipatganda kepada para terdakwa yang sedang mencari keadilan tanpa ada kesalahan. Hampir semuanya melibatkan hakim agung bernama ARTIDJO ALKOTSAR.
Padahal, hakim kasasi tidak bisa membatalkan putusan di tingkat banding bila tidak terjadi kesalahan penerapan hukum atau melanggar hukum (baca Pasal 30 huruf (b) UU Mahkamah Agung). Dalam banyak perkara, ARTIDJO telah membatalkan putusan pengadilan banding tanpa adanya penjelasan mengenai dimana letak kesalahan penerapan hukum. Sebagai Judex Juris, ia justru memerankan diri sebagai Judex Factinamun tanpa memeriksa fakta. Hanya ARTIDJO hakim kasasi yang sering melanggar azas, doktrin, dan norma yang telah bulat disepakati ahli hukum di seluruh dunia tersebut. Mengapa ARTIDJO demikian berani?
Rupanya adalah nafsu kebencian. Dalam banyak kesempatan tampil di media, ARTIDJO kerap mempertontonkan kebenciannya yang meluap-luap kepada terdakwa korupsi. Lalu apakah kebencian boleh menjadi pegangan seorang hakim dalam memutus sebuah perkara?
Kebencian sangat dekat dengan ketidakadilan. Pesan tersebut telah mengkristal dalam pesan semua ajaran agama. Sebagaimana juga disebutkan dalam firman Allah: “….. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. ….” [QS. al-Maidah (5): 8].
Beberapa waktu lalu, palu kebencian ARTIDJO kembali berlumuran darah. Anas Urbaningrum—yang kasusnya diselimuti kabut politik yang pekat—vonisnya dilipatgandakan tanpa memeriksa fakta yang telah terpampang jelas di persidangan bahwa Anas tidak bersalah. Disinilah sebenarnya berlaku asas Geen Straf Zonder Schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan). Sebelumnya, palu kebencian ARTIDJO juga telah memangsa Lutfi Hasan Ishaq, Angelina Sondakh, Hotasi Nababan, Rahudman Harahap, dr Ayu, dan belasan perkara lainnya.
Kebencian juga sangat mudah terjerumus ke dalam kekeliruan, bahkan kecerobohan yang fatal, ketika ARTIDJO salah menerapkan hukum yang telah dibatalkan oleh MK (pasal 76 dan 79 huruf c UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Putusan MK No.4/PUU-V/2007) untuk menghukum dr Bambang. Putusan sesat tersebut akhirnya dibatalkan melalui PK.
Kita semua mendukung pemberantasan korupsi. Namun penegakan hukum harus tetap berada dalam koridor penciptaan keadilan. Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara, karena itu akan mengundang datangnya kezaliman. Keadilan adalah untuk semua. Siapapun tidak berhak menyabotase jalan seseorang mencari keadilan, apalagi atas nama kebencian. Kebenaran hukum tidak dapat dimonopoli atas nama otoritas pembuatnya.
Petisi ini mengundang anda untuk bersama-sama menghentikan palu kebencian ARTIDJO ALKOTSAR. Bahwa semua kebenciannya bukan hanya telah melahirkan ketidakadilan, tetapi juga mengancam meruntuhkan sendi-sendi hukum. Menghentikan palu kebencian ARTIDJO adalah ikhtiar kita untuk menyelamatkan masa depan hukum dan keadilan di negeri ini.
Jakarta, Juli 2015.
Sumber Keadilan Untuk Semua