Oleh: Ahmad Naufa Kh. F.
Struktur lengkap kepengurusan PBNU telah dikukuhkan. Banyak ulama, kyai, intelektual, birokrat, politisi, aktivis, seniman, budayawan dan tokoh masyarakat masuk di jajarannya. Selama lima tahun kedepan, mereka akan berkhidmah melaksanakan amanat Muktamar ke-33 untuk membangun peradaban Indonesia dan dunia dalam domain Ahlussunnah wal Jamaah.
Salahsatu struktur yang menarik untuk disimak, diapresiasi dan ditunggu peran dan progresifitasnya adalah lembaga yang menaungi para seniman, budayawan dan sastrawan. Lembaga semi-otonom yang disiapkan PBNU untuk meng-counter cultural budaya k-pop yang menggerus tradisi, nilai dan nasionalisme generasi muda. Sayap NU tersebut bernama: Lesbumi, yang merupakan singkatan dari Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia.
Sebagai ketua, adalah esais, kolomnis, dosen, kyai sekaligus sejarawan NU: R. H. Agus Sunyoto. Selain memiliki kesibukan diatas, sang penulis buku fenomenal Atlas Walisongo ini juga sering turun ke basis, menyambangi generasi muda NU dari forum ke forum baik seminar, kajian ilmiah sampai kaderisasi. Namanya juga seringkali muncul di layar televisi dalam catatan akhir film atau FTV yang beraroma sejarah. Intinya, di daulat menjadi ketua Lesbumi, Agus Sunyoto tak diragukan lagi kapasitasnya.
Selanjutnya, ada nama musisi kondang, H. Ahmad Dhani yang di dapuk menjadi wakil ketua. Menarik perhatian karena publik baru tahu ada label “H” di depan pentolan grup band “Dewa 19” tersebut. Masuk di struktural, untuk Ahmad Dhani, tak begitu mengagetkan. Hal ini karena sejak dulu ia dikenal dekat dengan Almarhum Gus Dur dan sekaligus sama-sama satu almamater di Pesantren Tegalrejo Magelang, meskipun Ahmad Dhani lebih junior. Kesantrian Ahmad Dhani bisa dirasakan dalam gubahan lagu-lagunya seperti “Satu”, “Laskar Cinta” dan “Hadapi dengan Senyuman” yang kental dengan mistisisme Islam ala Malulana Jalaludin Rumi, Al-Ghazali, Syekh Abl Qadir al-Jilani dll.
Nah, yang paling menarik, khususnya bagi penulis, adalah nama Jawa yang bertengger panjang dalam struktur Lesbumi tersebut: H. Sabrang Mowo Damar Panuluh. Siapa dia? Mungkin warga nahdliyyin atau masyarakat Indonesia secara umum kurang begitu tahu siapa sang pemilik nama tersebut. Hal ini karena publik lebih mengenal dengan nama: Noe. Yah, ia adalah sang vokalis Letto Band dari kota gudeg, Jogjakarta.
Minimal, ada tiga alasan mengapa alumnus University of Alberta, Kanada ini menarik untuk dibahas. Pertama, kecerdasan-religiusnya. Lewat lagu-lagunya yang begitu religius, kita bisa melihat bagaimana ia menikmati agamanya. Seperti dalam lagu Sebelum Cahaya, yang bagaimana syair itu dibuat, menurut saya, menggunakan “perspektif” Tuhan yang berbicara kepada hamba-Nya yang sedang shalat tahajud. Kedua, kiprahnya dalam dunia seni baik musik yang banyak menciptakan lagu, maupun karya film yang berkualitas, diantaranya: Minggu Pagi di Victoria Park dan Rayya, Cahaya Diatas Cahaya.
Ketiga, adalah yang paling menarik sebenarnya: ia putra seorang Emha Ainun Nadjib (EAN), sang guru bangsa yang selama ini tak “menyatakan” identitasnya dalam bermadzhab. Meski begitu, dari tindakan dan apa yang dilakukan, tentu kita semua tahu dari mana dan aliran apa yang beliau anut. Menurut saya ini menarik, dimana putra seorang budayawan yang “netral” dan bebas “kesana-kemari” dalam rangka, menurut EAN, ndondomi sing do bedah; menambal yang sobek (di masyarakat karena pelbagai benturan agama, partai, ormas, komunitas, institusi dll). Noe, atau saya menyebutnya Mas Sabrang, kini “menentukan sikap” untuk berlabuh di NU, sebuah sikap yang patut disyukuri dan layak diapresiasi.
Membangkitkan Ghirrah Seni Kaum Santri
Kaum santri, dalam sejarahnya, tak luput dari seni dan budaya sebagai instrumen berdakwah. Melalui kesenian dan kebudayaan lokal, Islam dipribumisasikan. Hasilnya, tradisi seni dan kebudayaan tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Wayang kulit, misalnya, adalah gubahan Walisongo dari Wayang Beber. Konon, wayang kulit digelar ketika pembukaan Masjid Agung Demak dengan dalang Sunan Kalijaga dan tiket kalimah syahadat(kalimosodo).
Selain wayang, bonang dan berbagai instrumen musik, Walisongo juga membumikan Islam dengan tembang dan syiir-syiir. Dengan tembang, gambuh, macapat, syiir dan sejenisnya, masyarakat mendapat menikmati kedamaian, menemukan makna dan bahan pembelajaran. Mereka menyanyikannya bersamaan dengan memanin padi, berladang atau menyambut pekatnya malam hari. Tembang Tombo Ati dan Lir-Ilir yang terkenal dan masih menggema di berbagai mushala dan masjid menjelang shalat tersebut, benar-benar menjadi bukti dan fakta sejarah bahwa islam tak hanya doktrin dan aturan, namun juga perlu seni untuk mendakwahkan.
Sayang, dalam perjalanannya, banyak pesantren justeru pasif, menutup diri – untuk tidak mengatakan menolak – kepada pelbagai kesenian. Para kyai pesantren, rata-rata tidak mau hadir di acara pertunjukan wayang. Meski demikian, mereka juga tak menolak. Ini mungkin terjadi karena pergeseran pertunjukan wayang khususnya dan dunia seni pada umumnya yang sudah banyak keluar dari khittah, meski tak semuanya. Jika dulu wayang banyak memuat pesan kebajikan, namun di banyak desa malah menjadi arena dan ajang perjudian.
Seandainya – Ini hanya seandainya – Walisongo hidup di tahun 2015 ini, mungkin, mereka selain menjadi ulama, intelektual, teknisi ahli juga menjadi sutradara. Ini wajar, mengingat media dari dulu hingga hari ini adalah hal yang paling efektif, baik untuk syiar agama, menghancurkan agama, berdagang, kampanye dan bahkan merubah mindset masyarakat. Dari itu, para santri – penerus Walisongo – hendaknya ada yang meneruskan pendahulunya: dakwah via media. Bedanya: dulu dengan sejenis wayang, lagu dan kesenian tradisional, di era sekarang menggunakan televisi, musik, film internet dll yang menggauli zaman.
Adalah salahsatu tugas Nahdlatul Ulama, dalam hal ini Lesbumi, untuk turutserta membangkitkan gairah seni dan budaya kaum santri yang telah lama mati suri. Lomba-lomba seperti: drama, cerpen, puisi, ludruk, film pendek dan lain sebagainya harus dimunculkan dari pesantren. Khusus untuk film, akan lebih baik jika Lesbumi mengadakan training penyutradaraan, menulis naskah sampai pembuatan film. Selain untuk menyiapkan sineas santri, juga kedepan diharapkan mampu mengisi program AswajaTV yang masih minim kreasi. Itu adalah harga minimal, jika berbagai STAINU atau UNU belum membuka jurusan perfilman.
Akhirnya, semoga Lesbumi benar-benar membawa perubahan di tubuh NU khususnya dan Indonesia pada umumnya. Banyak tokoh, penyanyi, budayawan, sastrawan, seniman yang sudah begitu dikenal di Tanah Air masuk dalam stuktural. Semoga, mereka mampu mewalan gemburan K-Pop yang hari ini memporak-porandakan seni, tradisi dan budaya bangsa. Lesbumi adalah sayap kekuatan NU yang harus dimaksimalkan; untuk mengembalikan kejayaan seni dan budaya kaum santri dalam mencerahkan masyarakat negeri. Dengan segala komposisinya yang “bertabur bintang”; mampukah Lesbumi periode 2015 – 2020 ini membuktikannya?[*]