SUMENEP — Keputusan Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Sumenep yang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tertanggal 23 Juli 2025 dalam kasus dugaan penganiayaan menuai kritik tajam. Penghentian penyidikan dilakukan dengan alasan terlapor berstatus Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), sebuah langkah yang dinilai prematur dan bertentangan dengan hukum acara pidana oleh pihak pelapor.
Advokat Marlaf Sucipto, kuasa hukum Asip—korban dalam kasus ini—menyebut bahwa pihak kepolisian telah mengambil kesimpulan sepihak. Menurutnya, kepolisian melangkahi wewenang pengadilan yang seharusnya menguji status kejiwaan seseorang.
Kronologi Awal Mula Keributan
Kasus yang kini menjadi sorotan ini berakar dari keributan yang terjadi di sebuah acara resepsi pernikahan di Desa Rosong, Kecamatan Nonggunong, pada Rabu, 9 April 2025, sekitar pukul 11.30 WIB.
-
Pemicu Awal: Terlapor, Sahwito (warga Desa Talaga, Kecamatan Nonggunong), yang bukan merupakan tamu undangan, tiba-tiba datang dan langsung duduk di kursi deretan penerima tamu resepsi pernikahan putri Sukilan.
-
Permintaan Rokok: Sahwito kemudian meminta rokok kepada salah seorang penerima tamu, Sana, dan permintaan itu dipenuhi.
-
Peringatan Tuan Rumah: Meskipun sudah menyalakan rokok, Sahwito tetap bergeming di kursi penerima tamu. Pihak keluarga yang punya acara lantas meminta Sahwito untuk bergeser ke kursi lain yang telah disiapkan.
-
Aksi Kekerasan: Permintaan sederhana itu justru memicu amarah Sahwito. Secara mendadak, Sahwito menggeram lalu memukul bahu kiri dan mencekik Pak Addus, ayah Sukilan si tuan rumah resepsi. Daya pukul Sahwito sangat keras hingga menyebabkan bahu Pak Addus memar.
Konflik Meluas dan Upaya Meredam
Situasi pun langsung tidak terkendali. Asip, yang juga merupakan keluarga Sukilan, secara refleks berupaya meredam kekacauan agar tidak meluas.
-
Asip Diserang: Saat Asip mendekati Sahwito, terlapor justru balik menyerang. Asip berusaha menghindar namun ia terpeleset jatuh ke tanah.
-
Pengejaran: Asip kemudian lari ke arah barat, namun Sahwito terus mengejarnya. Asip kembali terjatuh, menyebabkan lengan dan betisnya mengalami lecet.
-
Penyelamatan: Saat Asip terjatuh dan Sahwito hendak menyerang lagi, Musahwan, keluarga tuan rumah, datang untuk menenangkan Sahwito, dan insiden pun terhenti.
Dua Laporan dan SP3 Kontroversial
Insiden ini kemudian berujung pada dua laporan kepolisian:
-
10 April 2025: Istri Sahwito membuat laporan polisi.
-
11 April 2025: Asip melaporkan Sahwito sebagai korban penganiayaan dalam peristiwa yang sama.
Laporan yang diajukan oleh Asip inilah yang kemudian dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Polres Sumenep, hanya karena polisi menyimpulkan terlapor Sahwito mengidap gangguan jiwa.
Kritikan Keras Kuasa Hukum
Advokat Marlaf Sucipto secara tegas menolak keputusan polisi tersebut. Ia menyatakan bahwa penghentian perkara hanya berdasarkan klaim ODGJ adalah tidak tepat dan melanggar hukum acara pidana.
“Menurut hemat saya, keputusan SP3 dengan alasan terlapor mengalami gangguan jiwa itu tidak tepat. Yang berwenang menyimpulkan seseorang gila atau tidak adalah pengadilan, bukan polisi,” tegas Marlaf.
Marlaf menekankan bahwa Pasal 44 KUHP ayat 1–3 secara jelas mengatur bahwa status kejiwaan seseorang harus diuji dalam proses persidangan, bukan diputuskan sepihak oleh penyidik. Pengadilanlah yang memiliki wewenang untuk menentukan pertanggungjawaban hukum pelaku.
Hingga saat ini, surat keberatan resmi yang diajukan Marlaf tertanggal 20 Oktober 2025 kepada Polres Sumenep belum mendapatkan balasan. Marlaf menutup pernyataannya dengan harapan agar Polres Sumenep menindaklanjuti keberatan ini dan membuka kembali penyidikan, demi menegakkan integritas hukum dan memastikan prosedur tidak dipotong hanya dengan label ODGJ tanpa putusan pengadilan.***


















