Pengantar buku antologi Puisi Hasani Akbar
Oleh: Ferry Arbania, Pimred MaduraExpose.com
Octavio Paz, seorang penyair terkenal peraih nobel sastra pada tahun 1990 menuliskan dunia dengan sajaknya yang bertajuk Titik Mula Puisi. Dalam sebuah penggalan kalimat sajaknya dia menulis begini……“Sajak adalah puncak pencapaian derita penyair”. Ada nestapa menyapa kesadaran tertinggi para penyair. Mengemas air mata menjadi sedemikian indah. Meski pada hakikatnya derita itu amatlah nyata.
Penyair tetap bersikukuh dengan gelapnya penderitaan dan luka-luka kemanusian. Begitu juga dengan kehadiran sajak “Kedamaian Derita” yang lahir dari tangan pesajak kesohor Joseph Brodsky, penerima nobel pada tahun 1987 itu, terpaksa harus meninggalkan negerinya, setelah pemerintah setempat mengusirnya. Tak lain, karena sang penyair waktu itu dengan lantang telah menuliskan luka sejarah kemanusiaan.
Hinggapun di seret pada kerucut tafsir yang lebih pendek dan lebih dari sekedar sederhana, kita pun punya “luka” baru yang hendak disampaikan penulis regenerasinya. Taruh contoh sekarang pada buku yang ditulis oleh saudara Hasany yang saat ini ditangan pembaca.
Meski kehadiran puisi-puisi sepintas terlihat sangat sederhana, namun secara tematik, kelahiran aku lirik dalam sajak yang ditulis sang penulis, sangat mubadzir kalau harus dilewatkan begitu saja. Proses kreatif yang melelahkan tentu, meski pada kelahirannya, sajak-sajak yang ‘dinikahkan’ dalam bahasa cengeng, serius dan sekali-kali terkesan sangat melankolis ini, seakan menambah rentetan kegelisaha para penyair pemula, yang keberadaannya, pasti tak mau sungkan-sungkan untuk mengabadikan lukisan derita. Dan secara totalitas menyuguhkan cerita dibalik fakta pengabdian cinta dalam menemukan identitas kemanusiaan yang hakiki.
Adalah Hasany, seorang penulis-pelajar di Madrasah Aliyah Raudlatul Iman, tepatnya di Desa Gadu Barat, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep ini akan menggiring kita menuju rantau air mata, dengan sajak-sajak cinta yang carut marut penuh luka dan tanda tanya perih dari sebuah keputusan hati. Ia mengajak kita larut dan menenggelamkan diri kesebuah titik tersepi yang dilahirkan alam semesta.
Meski pada kenyataanya, bisa jadi, perjalanan kreatif lirik tak setenggelam seperti yang dinukilkan Blaize Pascal dalam pesannya, “Manusia juga mampu merangkum semesta pikir yang ilmiah dan tafsir budayanya yang mempesona”. Kenapa harus derita penyair? Karena “Kepergianmu adalah Jalan Yang Harus Aku pahami”, demikian Hasany mengawali riuh perih puisinya yang “disangrai’ dalam keadaan yang memaksa beralalu, atau bisa jadi karena terpaksa. ……apalgi,
Kepergianmu adalah jalan/
Yang harus aku pahami //
Pilihanmu adalah keadaan /
Yang harus aku terima dengan sepenuh hati//
Meski terasa berat berkompromi dengan kepasrahan hati, aku lirik dalam sajak ini masih terlihat mangsai memainkan kata. Proses kontemplasi yang dijalani dalam semedi disebuah ruang imajenasi, tak terbantahkan. Meski disisi lain dengan mudah ditangkap kesan ragu-ragu untuk meyakinkan pembaca, bahwa kebersamaan itu lebih indah dari buah perpisahan yang memaksa.
Demikian juga dengan unsur tematik yang membelenggunya, sang penulis masih perlu banyak belajar bagaimana memasak air panas dengan tidak harus menjemur kata diruang yang juga panas. Kenapa harus menuliskan kalimat pasrah jika hati sebenarnya tidak benar-benar ikhlas melepas kekasih hati?
Disinilah kata benar-benar menjadi sihir, atau bisa jadi menjadi binatang jalang, yang kata Jamaluddin Kafi, Penyair adalah rusa betina, yang melompat-lompat dihutan belantara. Retorik puitis Hasany dalam sajak perdananya ini, seolah-seolah mewakili generasi sebayanya atau bahkan mungkin ABG Tua yang tengah dimabuk cinta, untuk tidak benar-benar tenggelam dalam obsesi kebersamaan dan harapan semu yang dibangun bersama, secara memababi-buta tanpa melihat realitas yang ada. Kenapa?
Sebab bila tidak/
Air mata ini akan bertindak /
Mengaliri kerut muka yang mulai rusak/
Melahirkan tangis yang berujung sesak//
Meski bukan lagi anak sekolahan yang getol-getolnya mencari gebetan, tapi mengikuti irama sajak cinta yang tertuang dalam buku sederhana ini, benar-benar membuat saya serasa ingin kembali pada batas usia yang membesarkan harapan tentang megahnya cinta pertama. Cinta pertama begitu agung penuh dengan kuncup bunga dan irama sorgawi. Ada pertalian rindu yang datang saling mengancik hasrat.
Meski tak nyata, cinta pertama telah membuat persendian hidup semakin serius dan mempesona. Namun kisah indah itu kini telah berubah warna kusam seumpama langit mendung diangkasa jiwa. Tak ayal, semerbak sayang dan cinta yang senantiasa berkobar itu telah berubah menjadi lautan kebencian dan benar-benar menguasai hati. Keindahan cinta yang telah berubah jadi lautan sesak napas itu bisa anda simak dalam puisi lain yang ditulis Hasany dengan tajuk ,
Ketika Kebencian Mengusai Hati
Tidak tau kenapa
Kebencian ini menguasai hati
Mengusik rasa cinta, menyuruh ia pergi
Ini bukanlah propaganda yang ingin menguasai banyak hati. Ini adalah catatan kecil tentang kesungguhan para pecinta dan yang ingin dicinta. Begitu sempurna hati menyempatkan diri bermain dengan kata. Sepert yang dikekalkan dalam sajak yang ditulis WS. Rendra dalam sebuah tulisannya, “Kata adalah senjata bagi para penyair”.
Disinilah Hasany berbekal kata, dan hendak mempersilahkan siapapun untuk berbicara tentang apa itu cinta. Untuk siapa kehadiran cinta. Kenapa kita harus menangis dan tertawa dalam cinta?. Yang jelas, perjalanan hidup ini tak akan pernah selesai, sampai langit menutup mata. Atau saat aku hadir menjadi bianglala dalam setiap tatapmu yang penuh damba.
Mari kita selamatkan hari-hari kita dengan kata.meski hanya lewat puisi, meski dengan sebatas sajak-sajak purnama. Kita tetap menajdi manusia, sepanjang kau bilang,” Aku masih merindukan puisi cinta dan sajak-sajak kehidupan hati”. (*)