SUMENEP, Madura Expose — Sejak bor pertama ditancapkan pada tahun 1993 di Pulau Pagerungan Besar, Sapeken, Kabupaten Sumenep, kekayaan migas Blok Pagerungan telah mengalir deras ke pusat. Namun, ironisnya, masyarakat di sekitar wilayah operasional justru terperangkap dalam jurang kemiskinan dan menghadapi degradasi lingkungan yang parah. Kini, gelombang penolakan terhadap survei seismik yang dilakukan PT Kangean Energy Indonesia (KEI) menjadi puncak perlawanan masyarakat yang selama puluhan tahun dibungkam oleh janji-janji pembangunan.
Krisis Lingkungan dan Budaya di Tengah Kekayaan Migas
Warga Kangean, dengan dukungan penuh dari Badan Eksekutif Mahasiswa Sumenep (BEMSU), secara terbuka menolak eksplorasi seismik terbaru oleh KEI. Penolakan ini bukan tanpa alasan. Mereka mengklaim bahwa puluhan tahun eksploitasi migas oleh KEI justru membuat hidup mereka makin terpuruk.
“Kami krisis air bersih, ekosistem laut rusak parah, dan tidak pernah tahu ke mana larinya dana CSR maupun Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang seharusnya menjadi hak kami,” ungkap Salman Farid, Koordinator BEMSU, dengan nada geram, Rabu (6/8/2025).
Kajian dari Kementerian PPN/Bappenas bahkan menguatkan klaim warga, menyatakan bahwa Pulau Pagerungan telah mengalami kerusakan ekologis tinggi. Abrasi pantai yang meluas, kerusakan terumbu karang yang masif, serta punahnya beberapa spesies ikan adalah realita pahit yang harus ditanggung warga. Mereka yang selama ini menggantungkan hidup pada laut, kini merasa kehilangan masa depan.
“Laut kami bukan sekadar ekonomi, tapi identitas budaya kami. Ketika laut rusak, budaya kami ikut mati,” tukas Salman, menyoroti dampak yang lebih dalam dari kerusakan lingkungan.
PI dan DBH Migas: Janji Palsu Pusat ke Daerah?
BEMSU membeberkan bahwa KEI telah mengabaikan kewajiban Participating Interest (PI) sebesar 10% yang seharusnya diberikan kepada BUMD lokal, PT Petrogas Jatim Sumekar (PJS). Kewajiban ini diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016.
“Ini adalah bentuk pembangkangan terang-terangan terhadap regulasi. Jika PI dilaksanakan dan DBH dikelola transparan, kemiskinan di Sumenep bisa ditekan secara signifikan,” tambah Salman, menekankan potensi ekonomi yang hilang akibat ketidakpatuhan perusahaan.
Wakil Rakyat Berdiri Sendiri, Pemerintah Terkesan Abai
Di tengah gelombang penolakan ini, Wakil Ketua DPRD Sumenep, M. Syukri, menjadi satu-satunya pejabat yang vokal menyuarakan aspirasi rakyat. Ia menuding Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep abai, bahkan terkesan tunduk pada kepentingan perusahaan migas.
“Kalau pemerintah diam, itu sama saja membiarkan rakyat dilindas investor. Ini pelanggaran hak asasi manusia yang fundamental,” tegas Syukri, menuntut pertanggungjawaban dari pihak berwenang.
Momentum Evaluasi Kebijakan Energi Nasional
Kasus Kangean ini mencerminkan pola berulang yang kerap terjadi di banyak daerah penghasil migas di Indonesia: eksploitasi sumber daya alam tanpa distribusi keadilan yang merata. Konflik migas di daerah seringkali bermula dari minimnya partisipasi warga, absennya transparansi dalam pengelolaan dana, dan tumpulnya pengawasan daerah terhadap aktivitas korporasi besar.
“PI bukan sekadar dokumen di atas kertas. Itu adalah hak ekonomi daerah yang harus ditunaikan. Jangan main-main dengan aturan yang sudah ada,” tegas Syukri, memperingatkan konsekuensi hukum bagi pihak yang mengabaikan regulasi.
Tanggapan Pemerintah yang Tak Menjawab Substansi
Ketika dimintai konfirmasi terkait masalah ini, SKK Migas memilih bungkam. Sementara itu, Pemkab Sumenep, melalui Kepala Bagian Perekonomian, Dadang Dedy Iskandar, memilih menjawab secara normatif.
“Kami tidak ingin memberi kesan buruk terhadap investasi,” pungkas Dadang, tanpa memberikan penjelasan substansial terkait tuntutan masyarakat dan dugaan pelanggaran regulasi. Jawaban ini dianggap oleh banyak pihak sebagai bentuk pembiaran struktural terhadap penderitaan rakyat Kangean yang terus-menerus terpinggirkan di tengah kekayaan alam mereka sendiri.
[nss/jea/gmn/tim]

















