MADURA EXPOSE—Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kajiannya mengenai pengelolaan guru Indonesia menyaring tujuh masalah utama yang disebabkan ketidakjelasan pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah. Tujuh masalah itu dibedah dalam diskusi soal pengelolaan guru yang diselenggarakan ICW di Balai Kartini, Jakarta, pada Selasa, 22 Desember 2015.
“Riset kualitatif ini kami lakukan di Jakarta, Bandung, Pandeglang, Banten, Garut, Tasikmalaya dan daerah lain. Dua poin utama selalu sama dari waktu ke waktu, yaitu kompetensi dan kesejahteraan guru,” kata Ketua ICW Ade Irawan saat membuka diskusi tersebut.
Masalah tersebut diyakini sebagai buntut masa pelantikan kepala daerah baru. Nuansa politis itu kerap menyebabkan mutasi besar-besaran di lingkungan birokrasi pendidikan, khususnya pada guru. “Guru kerap diperas menjelang pemilihan kepala daerah,” ucap Ade.
Dari data ICW, masalah yang ada antara lain soal pengangkatan, kompetensi, kesejahteraan, mutasi atau penempatan, pengembangan kualitas akademik, pembinaan, dan pemberhentian guru.
Untuk pengangkatan, rekrutmen guru oleh pemerintah daerah sering didasarkan pada pertimbangan politis, apakah mengakomodasi tim sukses pemda tertentu atau tidak. Usulan formasi guru di daerah pun tak begitu digubris karena didasari standar yang tak jelas. Hal itu mendorong semua sekolah melakukan rekrutmen siswa sesuai dengan ketentuan masing-masing.
Soal kompetensi guru, kendala program dan anggaran menjadi masalah utama. Hal ini kerap menyebabkan pengangkatan guru tak didasari kompetensi, tapi kekerabatan. “Cara biasanya, mengajak kenalan dan semacamnya,” tutur Ade.
Hak dan kesejahteraan adalah isu yang disorot khusus. Penghasilan guru honorer (tidak tetap) masih di bawah upah minimum regional (UMR). Alokasi gajinya pun sering diambil dari Bantuan Operasional Sekolah. ICW juga mengungkap pungutan liar yang sering dilakukan dinas pendidikan terhadap guru, khususnya guru honorer karena tak ada perlindungan kerja.
ICW juga mengangkat masalah mutasi dan penempatan guru. Hal tersebut sering terpengaruh politisasi pemda menjelang dan pasca-pilkada. “Kalau guru dianggap salah memilih atau mendukung kepala daerah tertentu, mereka terancam dipindahkan,” kata Ade.
Peningkatan kualitas akademik dan keprofesionalan guru pun masih mengandalkan program pusat yang sebenarnya terbatas. Alasan utamanya masih soal anggaran dan ketidakpahaman pemda terkait dengan peningkatan kompetensi guru.
Pembinaan guru oleh pemda pun dianggap buruk. Politisasi pemda menutup aspirasi kelompok guru yang kritis terhadap perubahan. Pendidikan yang diselenggarakan institusi yang bersangkutan tak memiliki program pembinaan guru.
Pemberhentian guru, menurut ICW, karena tidak adanya perjanjian kerja yang layak. Guru mudah sekali diberhentikan oleh institusi pendidikan, khususnya swasta.
Diskusi ICW tersebut mengundang sejumlah tokoh penting sebagai pembicara, seperti Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, serta Wali Kota Pontianak Sutarmidji.