Scroll untuk baca artikel
Ladang Sastra

Di Atas 2 Menara

Avatar photo
321
×

Di Atas 2 Menara

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi/Istimewa

Dasuki, seorang laki-laki bertubuh pendek di banding tubuh laki-laki seusianya masih duduk di depan pesawat televisi yang ada di ruang tamu rumahnya, oh.. maaf, ruangan dua kali dua meter itu berfungsi juga untuk ruang keluarga, ruang makan, dan terkadang digunakan juga sebagai dapur.

Dasuki, begitulah dia di sapanya, hanya tinggal dengan ibu dan kedua adik perempuannya di rumah yang hanya memiliki empat ruangan ini, selain ruang yang biasa digunakan untuk nonton tv, ada juga dua kamar, dan dapur.

“Dasukiiiii!! Sudah dari pagi kau memandangi layar televisi itu, memangnya ada apa di balik layar itu sampai kau melupakan pekerjaanmu ?”. Suara dari luar rumah itu sudah tidak asing lagi baginya, suara seorang laki-laki yang sudah menyekolahkannya sampai lulus SMK, meski hanya mengandalkan dari menjual botol-botol plastik bekas.

“Pekerjan ? apa bapak lupa atau memang tidak tahu ? sejak lulus sekolah dulu aku ini memang tidak bekerja.” Jawab Dasuki tanpa sedikitpun menoleh dari layar tv. “mencari pekerjaan. Itulah pekerjaan yang seharusnya kau lakukan sekarang.

Bapak tidak mau kau meneruskan pekerjaan bapak ini. Berkeliling mencari sampah, dari pagi hingga sore, dan uangnyapun tidak seberapa. Masih untung kau bisa bapak sekolahkan sampai SMK, tidak seperti kedua adikmu yang lain, SD saja tidak lulus.” Jawab bapak Dasuki sambil berjalan keluar rumah setelah mengambil sesuatu dari dalam rumahnya, dan segera pergi menuju tumpukan botol bekas yang ada di depan rumah, yang baru saja dia kumpulkan dari pagi hingga sore.

“sudah sering aku coba, berkali-kali aku menitipkan lamaran ke sana-sini, tapi sampai saat ini belum ada juga perusahaan yang memanggilku untuk bekerja. Hanya untuk sekedar interview pun tidak ada. Halah… mencari pekerjaan di negeri ini, memang seperti mencari jarum di tumpulkan jerami.

” Bapak Dasuki tak membalas perkataan anaknya tersebut, melainkan hanya sibuk bergelut dengan tumpukan botol bekas. Lima belas menit kemudian, akhirnya Dasuki pergi meninggalkan rumahnya. Ayah Dasuki sudah tak terlihat di depan rumah, dia sudah pergi untuk menjual botol-botol miliknya yang akan dibelikan makanan untuk nanti malam, yaitu beras dan sekaleng ikan sarden.

Dasuki berjalan menjauh dari rumahnya. Bau busuk sampah menyerangnya dari segala arah. Sebenarnya sudah lama sekali Dasuki berniat ingin pindah dari pemukiman yang pemandangannya hanya sampah yang sudah menggunung.

Dan sudah lama juga Dasuki ingin membelikan rumah baru untuk ayah dan kedua adiknya tersebut. Tapi apa mau dibuat, membeli rumah memerlukan uang yang jumlahnya tidak sedikit, sementara hidupnyapun tidak lebih dari seorang pengangguran.

Dasuki pun tiba di tempat favoritnya menghabiskan sore, yaitu di atas 2 menara tinggi yang dimiliki mesjid dengan Guba keemasannya, Dasuki sendiri tidak tahu dulunya mesjid tersebut adalah tanah lapang luas yang tak terurus, hingga pada suatu hari sekempulan orang yang menempati kawasan tersebut mempunyai inisiatif untuk membangun sebuah mesjid sebagai tempat ibadah kepada sang pencipta dengan dana amal yang dilakukan sekelompok orang dari 6 tahun yang lalu. Di atas 2 menara tersebut dia bisa melihat banyak sekali pemandangan, senja, bangunan yang semakin memenuhi kota, manusia yang terlihat seperti miniatur mainan, kendaraan yang setiap hari berperan sebagai alasan kecamatan kota, burung-burung berterbangan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dan bagi Dasuki, menikmati sore di atas 2 menara itu memiliki nimat tersendiri, dia selalu berharap sore tidak pernah berganti menjadi malam, tapi dia sadar, tanpa adanya malam pagi dan siang, maka sore akan membosankan. Dan di atas 2 menara itu Dasuki terdiam, memikirkan hidupnya yang setiap hari begitu saja, nonton tv, makan, tidur, begitu terus. Sampai Dasuki merasa dirinya tidak memiliki tujuan hidup, terombang-ambing oleh laut, hingga tinggal menunggu kapan kapalnya laut tenggelam.

“ mungkin benar kata ayah, harus mencari pekerjaan,” Pikir Dasuki. Dasuki kembali kerumah setelah matahari sudah tidak terlihat dan melaksanakan sholat berjamaah di mesjid itu. Di rumah, kedua adik perempuannya sudah balik dari bekerja di pabrik. Entahlah pabrik apa, yang jelas kedua adiknya tersebut sudah lama bekerja di pabrik itu saat Dasuki masih kelas dua SMK.

Usia Dasuki dan kedua adiknya memang tidak terlalu jauh, adiknya yang pertama berumur delapan belas, sedangkan adiknya yang kedua berusia tujuh belas, Dasuki sendiri umurnya hanya lebih tua dua tahun dari anaknya yang pertama. Dasuki kembali pergi, dia pergi ke toilet umum dekat rumahnya, setelah mengambil perlengkapan mandi tentunya.

Sebenarrnya mandi di toilet umum bukan perkara mudah, Dasuki harus menunggu bermenit-menit, bahkan bisa sampai setengah jam demi mendapatkan giliran. Tidak jarang Dasuki mengurungkan niatnya untuk mandi karena sudah membayangkan lamanya antrian dan sesaknya menahan bau tidak sedap yang dikeluarkan sampah.

Makan malam sudah siap, dia juga melihat bapak beserta kedua adiknya sedang makan di depan tv. Saat kedua adiknya selesai makan, Dasuki lalu menghampiri bapaknya, “ pak.. besok aku akan cari kerja.” Ungkapnya.

“ iya nak.. Alhamdulillah, bagus. Carilahh pekerjaan yang halal dan tidak merugikan orang lain. Bapak tidak mau kau menggunakan jas, dasi, pergi mengggunakan mobil, tapi di balik itu semua kau mencuri, mengambil sesuatu yang bukan hakmu.

Kalau kau mau tau, orang seperti itu lebih menjijikkan dari pada sampah, dan kau tahu, sudah banyak orang model begitu di negeri ini.” Tuturnya padanya. “Iya pak.” Hanya dengan anggukan kepalanya Dasuki menuruti perintah bapaknya, lalu dia mematikan pesawat televisinya dan segera tidur di depan tv.

Biodata Penulis Cerpen:
Miftahol Hendra Efendi
Nama Pena : Mahendra Fendi
Sumenep, 01-09-1995
Alamat : JL. Raya Mandig-Giring Sumenep
Penggiat rumah ilmoe
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Motto : Jangan Pernah Mati Dalam Sebuah Keramayan
Kuliah: STKIP PGRI Sumenep
LPM Retorika & HMP PBSI
Organisasi : PMII STKIP PGRI SUMENEP