Scroll untuk baca artikel
Hot Expose

Madjedi Hasan: Kontrak Migas Perlu Memuat Stabilization Clause

Avatar photo
43
×

Madjedi Hasan: Kontrak Migas Perlu Memuat Stabilization Clause

Sebarkan artikel ini

Satu di antara sedikit orang yang terjun menekuni kontrak-kontrak minyak dan gas adalah A. Madjedi Hasan. Bisa dikatakan pengalamanlah yang mengantarkan ayah dua anak ini bergelut dengan isu-isu hukum dalam kontrak migas.

Sebab, merunut latar pendidikan, Madjedi Hasan sebenarnya seorang insinyur pertambangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia malah pernah memperdalam ilmu pertambangan di University Oklahoma, Amerika Serikat (1961) dan menggondol gelar Master of Petroleum Engineering. Pria kelahiran 27 Desember ini lalu bergabung dengan PT Caltex Pacific Indonesia. Berkarir selama hampir 24 tahun di perusahaan ini, membekali Madjedi dengan berbagai masalah dan aspek hukumnya. Di sini ia mulai mempelajari kontrak-kontrak migas. Waktu itu, saya belajar hukum supaya tahu lebih banyak, ujarnya.

Toh, belajar di dunia hukum, apalagi spesifik menggeluti kontrak migas, bukan hal yang terlalu sulit. Madjedi sudah punya pengalaman sehari-hari. Dan, yang terpenting, ia sudah memiliki data yang memadai, baik dari sisi teknik maupun hukum. Tak sia-sia tekad Madjedi menekuni dunia hukum. Pada pertangahan 2008 lalu, ia menggondol gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung. Di sini, ia berkonsentrasi meneliti kontrak-kontrak migas di Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Disertasi doktor itulah yang kemudian dibukukan dengan judul Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum.

Madjedi berpendapat Kontrak Bagi Hasil (KBH) yang berlaku selama ini tidak berkelanjutan karena kebijakan migas belum menampung azas-azas keadilan yang memberikan hak kepada generasi mendatang agar dapat memanfaatkan kekayaan alam. Ia juga berkesimpulan azas kepastian hukum dan keadilan dalam melaksanakan kontrak migas di Indonesia tidak sepenuhnya dapat dicapai. Mengapa?

Untuk mengetahui lebih lanjut pemikiran-pemikiran dan pandangan Madjedi Hasan tentang kontrak migas, khususnya yang ia tuangkan dalam buku tersebut, hukumonline berkesempatan untuk mewawancarai pria yang kini menjadi konsultan itu. Wawancara berlangsung di kantornya di kawasan Sudirman Jakarta, 04 Juni lalu. Berikut petikannya:

Bisa dijelaskan hukum kontrak migas yang dipaparkan dalam buku Anda?
Sebelum saya lakukan penelitian, saya prihatin terhadap keadaan migas di Indonesia. Saat ini menurun dan menjadi isu-isu politik yang tidak karuan. Saat mendapat kesempatan menyusun disertasi, saya bertekad menulis masalah ini. Buku ini (maksudnya “Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum”�red.) saya tulis sebagai bentuk keprihatinan. Buku ini saya bagi dalam enam bab. Bab pertama menyangkut latar belakang. Saya ceritakan Indonesia bagaimana dulu, lalu turun, dan masalah apa yang timbul misalnya ada cost recovery Ini aspek pembukaan.

Konklusi saya, ada satu masalah yaitu keadilan dan kepastian hukum. Kontrak ini tidak stabil, karena diubah-ubah. Kontrak Bagi Hasil (KBH) itu kan kontrak jangka panjang. Kalau kontrak migas berubah-ubah dan unsur politik masuk, misalnya Pemerintah menetapkan peraturan pajak baru, akibatnya tidak ada kepastian buat investor. Migas adalah usaha yang sangat beresiko. Tidak ada negara di dunia sampai sekarang yang mau menanamkan uang untuk mencari. Dia selalu panggil investor. Suka tidak suka, you tanda tangan kontrak jangka panjang, you harus hormati apa yang tertulis. Kalau dia berhasil, ya nasib dia. Kalau dia gagal, dia yang rugi. Di sini, di Indonesia, orang sudah berhasil, lalu orang cuma lihat lho kok enak dia ya? Dia yang dapat. Selain peraturan perpajakan, lalu CSR.

Investor harus ini, harus itu. Seolah Pemerintah tidak melihat kesulitan investor. Kalau saya punya uang saya akan lihat hal yang sama. Jadi kalau saya tekan kontrak 30 tahun dengan persyaratan seperti ini, jangan diganggu. Nah, inilah yang saya ceritakan di Bab 1. Jadi latar belakang kenapa saya menulis maslaah itu, karena saya prihatin. Pada Bab 2, saya membahas yang dinamakan politik hukum. Politik hukum itu sebenarnya, kebijakan politik yang mempengaruhi hukum.

Di sini ada suatu isu, yang you tahu mengenai pasal 33. Di situ ada Hak Menguasai dari Negara (HMN). Apa artinya itu? Ada pendapat Bung Hatta, ada pendapat Mahkamah Konstitusi. Kalau saya lihat, HMN itu berarti negara mengatur. Nah kalau dia mengatur, misalnya saya punya minyak, dia mau mengatur seperti apa. Salah satu putusan yang diambil Pemerintah, saya akan mengadakan eksploitasi minyak ini dengan kontrak. Selama you sudah memutuskan dengan kontrak, berarti you terikat kepada hukum perjanjian. Hormatilah. Yang terjadi di sini kan macam-macam.

Apakah Anda melihat ada perubahan tafsir Pasal 33 UUD 1945 sesuai perkembangannya?
Tidak berubah, cuma Mahkamah Konstitusi (MK) yang terakhir tidak konsisten. Dia bedakan intepretasi UU Migas dengan UU Ketenalistrikan. Itu saya bahas di sini. MK inkonsitensi dalam hal ini. Saya kembalikan kepada pemikiran Bung Hatta.

Dalam buku Anda menyebut masalah utama KBH adalah ketidakjelasan peraturan perundang-undangan. Apakah itu memang sangat berpengaruh terhadap sektor migas?
Di Bab 2 saya bahas soal pengelolaan sumber daya migas dan praktik di luar negeri, serta dalam international law. Konsep HMN sebenarnya sudah diterima di seluruh dunia, dan tercermin dalam konvensi-konvensi PBB. Bagi saya, Pasal 33 UUD 1945 jangan disakralkan. Konsep HMN itu sudah diakui dunia. Jangan selalu digembung-gembungkan, sehingga isunya jadi kacau. Di Bab 3 saya membahas beberapa konsep hukum dan asas-asas perjanjian. Saya bahas juga teori-teori dan asas hukum agar nanti pada saat bahas pada bab selanjutnya teori itu bisa masuk.

Baru di Bab 4, membahas permasalahan dalam Kontrak Bagi Hasil (KBH). Permasalahan KBH banyak sekali. (Yang saya ungkapkan di buku) Itu kebanyakan berdasarkan pengalaman pribadi, dan catatan-catatan saya yang belum pernah dipublikasikan orang. Karena dulu di Caltex saya sering menangani masalah-masalah itu. Misalnya masalah peraturan perundang-undangan. Dulu PPn itu tidak ada, lalu belakangan di-introduce. Padahal di kontrak dikatakan, pajak-pajak ditanggung negara. Tapi PPn itu peraturan umum, orang harus bayar dulu, nanti baru direstitusi. Nah pada waktu restitusi inilah timbul masalah. Jangka waktu mestinya beberapa hari, realitasnya bisa sampai beberapa bulan. Ini ada kesalahan.

Bagian mana dari KBH yang paling potensial menimbulkan sengketa?
Manfaat dari migas bukan saja produk, tapi juga meng-create job baik untuk orang, baik untuk yang lain. Harusnya, memanage masalah migas memperhatikan keseimbangan kontrak migas dan pembangunan ekonomi Indonesia. Ini yang saya bilang: kita ribut soal prosedur, tapi bagaimana dengan perusahaan-perusaahan kecil? Harusnya dibina. Itu yang saya bilang, di bagian terakhir, Pasal 33 jangan hanya dilihat sekadar BBM murah. Bagaimana migas create to job. Sering terjadi kasus dimana perusahaan besar mendikte perusahaan kecil.

Menjadi tugas Pemerintah untuk mencari suatu keseimbangan. Diatur karena banyak sekali terjadi, terutama di rig yang saya tahu, keadaan tidak seimbang. Saya bilang ke rig company, tolong you susun model kontrak yang fair. You bisa bicarakan dengan Pemerintah, BP Migas, dan bilang ke oil company kontrak ini yang mau dipakai. Jangan standar di Amerika yang dipakai. Itu yang saya bilang asas keadilannya dimana? Ada satu misi. Makanya saya tidak terlalu pro pada perusahaan asing. Yang penting bagaimana untuk membina keadilan. Saya ambil contoh China. China sudah masuk ke Indonesia, tapi dia perbaiki kontrak production sharing (KPS), terutama mengenai pemanfaatan service dari dalam negeri. Dia atur itu. Di sini aturan sejenis tidak ada.

Harus kita membuat suatu industri di sini, kita membangun suatu kemampuan. Itu yang dinamakan domestik. Di sini local content kurang dibangun. Pada Bab 5 buku saya mulai bikin konsep. Saya bilang, production sharing tidak salah. Tapi bagaimana you memperbaiki implementasi kontrak. Beberapa terms kontrak sangat kabur, tidak jelas. Itu sumber konflik. Itu harus diperbaiki. Lalu, kontrak ini berjangka panjang. Karena kontrak itu berjangka panjang, dia sangat rentan terhadap perubahan.

Saya ambil contoh. Ketika suatu kontrak ditandatangani, harga minyak hanya AS$1, sementara setelah perang Timur Tengah harga minyak naik jadi AS$5 sampai AS$10. Di sini, kontrak menjadi tidak seimbang. Kontraktor jadi untung banyak. Karena itu Pemerintah minta, kita bicarakan formulanya. Diubah. Pembagiannya dapat lebih, kalau harga minyak naik segini, kita dapat segini. Itu sudah fair. Perundingan itu bisa memakan waktu dua minggu karena approach saat itu baik sekali. Tapi makin lama, makin berkembang, ada krisis keuangan Pertamina. Pemerintah jadi agak greedy. Pertamina bilang, hapuskan saja itu, naikkan jadi 85 : 15. Akibatnya, perundingan sangat lama, ada beberapa kompromi. Secara politis dia dapat 85 : 15, tapi ada hal-hal yang diberikan. Biaya pengembalian tidak dibatasi, dan sebagainya.

Padahal Pak Ibnu Sutowo dulu membatasi dari awal. Diangkatlah para teknokrat, seperti Pak Broto, Pak Sadli dan seterusnya. Oke ini berunding sudah selesai. Saya tambahkan insentif. Tapi pada saat pemberian insentif, tarik-ulur terus. Sehingga akhirnya tidak ada eskplorasi disini. Akibatnya pencarian berkurang. Jadi akibatnya sekarang. Jadi sekarang kalau saya ditanya, kapan sih sebabnya? Sebabnya sudah dari tahun 70. Makin lama makin jelek, itu saja. Tidak ada usaha untuk memperbaiki. Indonesia sekarang harus bergerak ke Indonesia Timur. Indonesia Barat sudah mature, jadi kita harus bergerak ke Timur. Itu daerah yang sulit, laut dalam dan jauh sehingga butuh pemikiran yang lain: insentif. Kalau orang tanya mengapa dekade 1960-an gampang, pada waktu itu negara produsen minyak belum banyak. Tapi Indonesia sudah dikenal. Sejak di Nigeria ditemukan minyak, orang lari ke sana. Pemodal itu kan cari dimana dia bisa ambil untung. Simple.

Bukankah Indonesia punya nilai tambah, misalnya tenaga kerja yang murah?
Yang bilang tenaga Indonesia murah siapa? Tidak juga. Orang Indonesia gajinya sudah sama dengan asing. Kalau dibilang tenaga kita murah, saya masih ada reservasi. Yang penting modal itu bergerak, pemodal mencari mana yang paling menguntungkan. Suka tidak suka, itu fakta dunia. Jadi you bikin kontraknya stabil, orang itu yakin ada kepastian hukum. Bahwa keadilan itu akan berubah, hari ini you anggap adil, pada suatu hari mungkin tidak adil lagi. Kita berunding. Karena KBH rentan terhadap perubahan, saya usulkan dalam kontrak ada stabilization clause. Jadi dibuka suatu hal, kalau ada suatu perubahan, kedua belah pihak untuk berunding dan mencari solusi.

Semua kemungkinan sengketa sudah antisipasi. Dalam bahasa Latin ada ajaran hukum, rebus sic stantibus. Artinya hal suatu keadaan tidak tetap, alau keadaan berubah, marilah kita berunding. Di hukum perdata kita masih belum ada. Kita cuma mengenal force majeure. Di beberapa tempat namanya hardship. Konsep ini belum ditampung dalam hukum perdata. Kasus Karahabodas, misalnya, terpaksa dimasukkan klausula force majeure yang hanya berlaku satu pihak. Itu tidak adil. Tapi lawyer kita tidak nangkap. Itu yang saya usulkan agar di industri ini kita stabilkan kontrak. Itu yang rebus sic stantibus tadi.

Apakah sistem hukum Indonesia bisa menyerap stabilization clause tersebut?
Bisa. Sebaiknya dimasukkan dalam revisi KUH Perdata. Kalau belum bisa, asas-asas hukum perdata kita sebenarnya cukup. Cuma akan lebih baik kalau ada, lebih tegas.

Kalau belum ada, apakah akan mebimbulkan masalah pada kontrak?
Tidak. Sebab intepretasi suatu kontrak selalu dibilang bahwa kesepakatan dalam kontrak merupakan pedoman pokok. Kalau tidak ada, baru dicari dalam hukum perdata kita. Artinya, di sini hukum perdata menjadi pelengkap kalau dalam kontrak tidak lengkap. Terutama kontrak-kontrak migas, banyak pemikiran Common Law yang masuk. Ada beberapa yang tidak masuk. Tapi ada breach dari suatu kontrak. Kalau melawan orang dengan iktikad baik, kalau tidak disebut sulit. Kalau yang berlaku hukum Indonesia, tarik saja ke pasal 1338 KUH Perdata.

Apa mungkin ada perbedaan antara prinsip common law dengan prinsip hukum perdata kita dalam berkontrak?
Ada kemungkinan, makanya harus hati-hati. Kemungkinan akan selalu ada karena di Common Law kan dibuat oleh judge. Mereka sering tidak konsisten.

Bagaimana dengan masalah pilihan hukum?
Kontrak migas di Indonesia umumnya menggunakan hukum Indonesia. Cuma pilihan forum sampai hari ini masih forum internasional. Semua rata-rata persidangan bisa di sini, tapi pakai ICC (International Chamber of Commerce). Dalam semua kontrak antara asing dengan pemerintah, tidak akan ada penyelesaian di pengadilan. Biar bagaimana pun ada posisi yang berbeda, Pemerintah di atas . Kalau you sudah menundukkan diri pada perjanjian, you menundukkan diri pada posisi yang sama. Karena itulah diselesaikan di arbitrase.

Apakah rezim perizinan dalam UU Minerba baru memperkuat posisi Pemerintah?
Ya. Tapi itu tidak berarti pemerintah di-sue di pengadilan. Jangan lupa, dalam hubungan dengan perusahaan asing, mereka bisa sue Pemerintah kita di luar negeri. Dia bisa membuktikan Pemerintah bukan sebagai menjalankan pemerintahan, melainkan menjalankan bisnis. Banyak yang masih berpendapat begitu. Saya berpendapat sama bahayanya. Kalau dia menjalankan commercial, dia bisa di-sue. Itu yang dinamakan limited immunity. Di Amerika, Australia, di sejumlah negara sudah ada. Saya lihat, dalam bisnis hindarilah sengketa. Mediasilah. Apapun sengketanya, kedua belah pihak rugi. Harus cari win-win solution.

Apa konsekuensi perubahan rezim kontrak karya ke rezim perizinan itu?
Kalau dalam kontrak, investor dapat kepastian hukum langsung. Pada rezim perizinan, kalau ada perubahan, maka itu akan masalah. Makanya dalam UU itu kan ada aturan peralihan. Aturan peralihan sebenarnya dibuat dalam konteks kepastian hukum. Kepastian hukum itu digaransi dalam UUD.

Bagaimana kalau UU tidak ada aturan peralihan, lebih baik kontrak atau izin?
Itu Undang-Undang jelek. Biar bagaimana pun Pemerintah punya kelebihan yang harus ditampung. Makanya perlu ada stabilization clause. Saya dari swasta lebih senang sistem kontrak. Misalnya kontrak geothermal. Sampai sekarang tidak ada yang tanda tangan. Karena tidak ada kepastian hukum.

Bisa dijelaskan mengenai ketidakpatuhan dalam kontrak migas?
Sepanjang kontrak berjalan you jangan ubah. Karena kontrak migas berjangka panjang maka bisa berubah. Perubahan itu kadang tidak bisa dihindari. Untuk mengubahnya, lakukanlah perundingan, jangan tindakan sepihak. Tindakan sepihak berarti pihak tersebut tidak menaati kontrak. Pacta sunt servanda-nya tidak ada. Ini bisa menimbulkan masalah. Perundingan kan ada give and take. Kepatuhan dalam kontrak itu artinya janganlah melakukan perubahan sepihak. Harus distabilisasi kontrak itu.

Pada stabilization clause itu ada syarat-syaratnya, bukan hanya menstabilkan. Masalah kita adalah banyak kata yang ambigu dalam Kontrak Production Sharing. Akhirnya menjadi tidak jelas. Misalnya arti �komersial’ bagi kontraktor dan Pemerintah bisa berbeda. Di Nigeria, ada satu tolok ukur yang sama. Di Indonesia, masing-masing punya pendapat sendiri, tidak ada tolok ukur. Kadang BP Migas dan Pertamina mengeluarkan peraturan sendiri, itu sepihak kan? Kalau kita mau bikin kontrak yang stabil, iklim usaha yang baik, tolok ukur itu perlu.

Apakah konsultan hukum kita kurang siap dalam kontrak migas?
Iya, bahkan yang asing banyak yang kurang. Dispute migas itu jarang dibawa ke arbitrase. Kontrak migas itu pakai ICC. Ada juga yang UNCITRAL Rules, tapi kebanyakan ICC Rules. Itu soal trust saja.

Apa perlu ada pembekalan bagi konsultan hukum kita mengenai hukum migas?
Ada baiknya kalau ada trainning dari Pemerintah. Kebanyakan kasus yang timbul kan antara BP Migas melawan kontraktor. Itu masalahnya hukum perjanjian. Jadi menurut saya tidak ada yang khusus, tidak ada yang aneh-aneh.

Apakah ada isu lain yang berkembang dalam migas?
Isunya lebih pada peraturan yang berkembang. Misalnya dalam perpajakan. Kontrak itu kan lex specialis. Itu sering bentrok. Lalu pengertian cost recovery sekarang jadi isu politik. Menurut saya, itu biaya yang boleh ditagihkan. Cost recovery itu harus sama dengan yang boleh diizinkan dalam perpajakan. Sekarang cost recovery itu diributkan karena seolah-olah dikembalikan dalam bentuk minyak. Padahal dia hitung lagi, dia bebankan perhitungan pajak. Harusnya sama. Karena cost recovery diributkan, semua kasih komentar. Seperti gaji konsultan asing. Kalau menurut saya itu adalah diskresi, kebijakan perusahaan. Kalau sudah disetujui cost recover, kan tidak apa-apa karena itu kontrak. Janganlah BP Migas bikin begini, auditor bikin yang lain.

Berarti ada mislink antara BP Migas dengan auditor?
Mislink-nya banyak. Terus terang saja, kalau dari BPK atau BPKP dia harus dapat temuan. Kalau tidak dianggap tidak kerja. Itu fakta, realita, rahasia umum. Saya sudah mengalaminya.

Bagaimana dengan interest on recovery?
Kalau dalam kontrak diizinkan. Tapi bagaimana melaksanakan itu? Dalam kontrak kan ada preambule yang mengatakan itu punya financial ability, jangan terus dia bebankan interest. BP Migas harus jeli. Yang minta bunga itu perusahaan-perusahaan Indonesia yang baru masuk. Pemain lokal. Itu adalah loopholes yang dibuka di dalam kontrak yang dimanfaatkan. BP Migas harus trick di situ. Kalau memang resikonya terlalu besar atau biayanya sangat besar seperti kasus Arun, diizinkan saja.Tapi jangan yang kecil-kecil pinjam uang dibebankan bunga. Justru cost recovery timbul banyak dari perusahan-perusahaan Indonesia. Karena dia punya perusahaan, punya service company, dia mark-up di sini. Jadi disini dia kurang sedikit, tapi di kantong lain besar. Kalau perusahaan asing tidak bisa karena dia tidak bergantian dengan service company.

Bisa lebih dijelaskan modusnya?
Misalnya, saya punya kontrak, lalu punya drilling company namanya beda, saya punya spec demikian rupa sehingga perusahaan saya menang, specnya seolah-olah tinggi sehingga kalau ada masalah dalam kontrak saling memaafkan. Ini dilakukan sendiri oleh Pertamina. Apa dia dengan Elnusa tidak kawin? Kita ini membuat suatu isu yang ramai padahal kejahatan orang-orang kita juga. Bagi saya yang penting, kontrak itu berjalan tanpa gangguan, insentif yang baik juga supaya bisa jalan. Makanya kontraknya harus jelas. Bila kontrak tidak jelas, implementasi juga menimbulkan masalah. Istilah-istilah yang dipakai dalam kontrak kita terlalu ambigu. Kita ini kurang pengalaman. Kesengajaan juga ada. Kita terlalu kompleks buat kontrak. Insentif tidak salah, tapi pada pemberian insentif sering tarik-ulur. Jaman Pak Ibnu tidak ada insentif. Ini timbul sejak 76 ketika kontrak dimodifikasi sehingga menimbulkan banyak interpretasi yang berlainan. Itulah masalah sebenarnya. Kontraknya menjadi kompleks, padahal sebenarnya simple.

------------------------