Scroll untuk baca artikel
EXPOSIANA

Wartawan Main Proyek, Pantaskah?!

Avatar photo
340
×

Wartawan Main Proyek, Pantaskah?!

Sebarkan artikel ini

KOPI, Ini yang terjadi di daerah dimana saya tinggal, entah bila yang beginian juga terdapat di tempat atau daerah anda. Di daerah saya yang baru beberapa tahun lalu berdiri menjadi kabupaten, sedang pesat-pesatnya melaksanakan pembangunan di berbagai sektor. Kondisi ini tampaknya tak hanya dimanfaatkan oleh para perusahaan kontraktor proyek yang memang sudah seharusnya terjadi di mana-mana, namun juga dimanfaatkan oleh pihak lain yang semestinya tak boleh dilakukan bila tak ingin dikatakan dilarang. Dilarang karena dapat mempengaruhi independensi profesi serta pengawasan .

Sejauh yang saya dengar dan ketahui, banyak diantara para pejabat eksekutif dan anggota legislatif daerah yang ikut mendapatkan proyek pemerintah yang dibiayai dari anggaran Negara dan keuangan Pemerintah Daerah. Mereka itu tentu saja tak terlibat secara pribadi langsung, tapi melalui orang lain, kerabat, maupun teman.

Sebenarnya kalau menurut saya, mereka itu tak mendapatkan proyek, tetapi lebih tepatnya meminta dengan mengandalkan jabatan mereka. Bila sudah begini, maka tak salah lagi proses mendapatkannya dapat dipastikan diluar dari prosedur yang semestinya. Rupanya para wartawan yang jumlahnya lebih dari 40 orang di daerah saya, diantaranya tak mau pula ketinggalan “meminta” proyek.

Para pekerja pers yang semestinya berfungsi dan bertugas sebagai pengontrol ini, justru ikut terlibat di bidang yang seharusnya mereka kontrol dan awasi pelaksanaannya. Mereka ini dalam meminta proyek dengan cara-cara menekan pihak yang dimintai proyek, mengancam akan memberitakan dan membeberkan kesalahan pejabat yang bersangkutan di mass media yang dipegangnya. Mereka ini biasanya meminta proyek yang berstatus Penunjukan Langsung yang nilai besarannya proyeknya Rp. 50 juta kebawah, atau Pemilihan Langsung yang nilainya besaran proyeknya Rp. 100 juta kebawah.

Kebanyakan dari wartawan yang mendapat proyek tersebut tak memiliki badan usaha atau perusahaan sendiri, tapi meminjam milik orang lain. Dan proyek yang didapat tak dikerjakan sendiri pula, namun diserahkan kepada pihak perusahaan kontraktor yang bersedia mengerjakannya dengan imbalan untuk wartawan yang bersangkutan sebesar 10 persen dari nilai besaran proyek. Nah, bila sudah begini apa jadinya terhadap hasil pekerjaan proyek tersebut?

Tak ada yang melakukan pengawasan secara independen, serta tak ada yang berani mengutak atik pula. Dan lebih mantapnya lagi, para wartawan yang sering meminta proyek ini entah sengaja atau kebetulan, mereka berkumpul dalam satu wadah profesi wartawan, dan mereka berada di kepengurusan daerah persatuan wartawan yang paling tua di Indonesia. Ini mungkin sudah mereka pikirkan jauh-jauh hari agar pihak-pihak lain tak mudah mengganggu mereka, dan dengan wadah berkumpul itu pula kekuatan mereka tambah solid dengan power cukup besar. Adapun tugas utama mereka sebagai wartawan dapat ditebak, berita yang mereka tulis tak lagi berisi kritikan dan kontrol social, kebanyakan berita-berita seremonial Pemerintah Daerah.

Bila sudah begini, maka secara profesi wartawan atau secara kelembagaan adalah pers sebagai pilar ke-4, tak lagi berfungsi di tangan orang-orang yang tidak tepat (the right place on the wrong hands).

[pewarta-indonesia]