Pilkada Sumenep ini kali ini relatif berbeda jauh nuansanya dibanding pelaksanaan pada priode sebelum-sebelumnya. Setidaknya kehadiran tokoh besar MH Said Abullah atau Said Abdullah Ketua Banggar DPR RI.
Sosok Said Abdullah pada Pilkada Sumenep tak terlihat dominan bahkan hampir nyaris tak terlihat melakukan “aktivitas” politik untuk memenangkan keponakannya, Achmad Fauzi Wongsojudo, Cabup Petahana yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Sumenep.
Tanpa cawe-cawe langsung Said Abdullah ini menuntun nalar kita kepada sebuah kesimpulan kecil, yang menunjukkan kematangan berpolitik Achmad Fauzi Wongsojudo, setelah satu priode yang singkat melakukan banyak terobosan jitu memajukan perekonomian Sumenep.
Secara formal, pilkada merupakan mekanisme memilih pemimpin secara langsung dimana rakyat sebagai penentunya. Secara kultural, pilkada merupakan kesempatan membuktikan kematangan budaya politik masyarakat.
Di Kabupaten Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo, terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, telah mampu membangun Budaya politik masyarakat, dimana para pengkritiknya dengan leluasa menumpahkan “unek-uneknya” tanpa perlu takut dilaporkan ke pihak aparat.
Hal itu menunjukkan proses kematangan ber-demokrasi Achmad Fauzi Wongsojudo sebagai kepala derah telah matang karena mampu merangkul hampir semua lapisan dengan baik dan demokratis.
Terkait dengan tidak adanya cawe-cawe Said Abdullah dalam pencalonan Achmad Fauzi Wongsojudo di Pilkada Sumenep 2024 ini, ada beberapa kemungkinan yang bisa disodorkan:
Misalnya, tidak adanya intervensi langsung Said Abdullah dalam Pilkada Sumenep 2024 ini karena,
Pertama, Said Abdullah memiliki tanggung jawab lebih besar untuk “mengurus” sejumlah Pilkada dan Pilgub Jawa Timur yang diusung oleh PDI Perjuangan. Hal ini membuat kesempatan dirinya untuk menghabiskan waktu di Sumenep relatif sedikit.
Kedua, Said Abdullah tak terlalu dominan cawe-cawe di Pilkada Sumenep karena dirinya percaya jika keponakannya Achmad Fauzi Wongsojudo cukup mampu mengurus kekuatan parpol dan koalisi untuk memenangkan pilkada melawan rival politiknya.
Ketiga, kemungkinan Said Abdullah sengaja “meninggalkan” Achmad Fauzi Wongsojudo “sendirian” untuk “mengamankan kepentingan politik yang lebih besar di level yang juga lebih besar semisal Pilgub Jawa Timur dan politik nasional. Namun kemungkinan ini sangat kecil dan tidak terlalu relevan, meski hal ini kerap dihembus-hembuskan kepermukaan oleh segelintir kalangan. [*]