SUMENEP- Pemandangan sumur-sumur minyak dan gas yang menjulang di tengah hamparan tanah subur adalah ironi bagi banyak daerah di Indonesia. Mereka adalah lumbung energi, namun seringkali hanya menjadi penonton pasif dari kekayaan alamnya sendiri.
Di tengah janji desentralisasi dan otonomi daerah, partisipasi 10% (Participating Interest/PI) dalam pengelolaan migas seharusnya menjadi pintu gerbang menuju keadilan energi.
Namun, seperti yang disuarakan oleh Bupati Sumenep, Dr. H. Achmad Fauzi Wongsojudo, S.H., M.H., janji itu masih jauh dari kenyataan. Kebijakan yang seharusnya menjadi hak daerah kini bagai fatamorgana: terlihat dekat, namun tak pernah bisa diraih.
Mandatori PI Migas: Antara Regulasi dan Realita
Regulasi soal PI migas sejatinya sudah diperkuat, bahkan dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) terbaru. Tujuannya jelas: memberikan porsi yang layak bagi daerah penghasil untuk merasakan manfaat ekonomi langsung dari sumber daya alamnya. PI 10% ini bersifat mandatori, artinya wajib diberikan kepada BUMD milik daerah.
Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Bupati Fauzi dengan tegas menyatakan, “Tidak ada satupun di republik ini PI-nya bisa landing soft.” Pernyataan ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah gugatan politik yang menohok.
Ini adalah cerminan kegagalan sistemik. Bahwa, meskipun aturan sudah ada di atas kertas, hambatan teknis dan birokratis yang sengaja dipersulit membuat BUMD daerah tidak pernah bisa benar-benar mengelola haknya.
Proses yang berbelit-belit, persyaratan yang tidak realistis, dan ketiadaan keberpihakan dari otoritas pusat seringkali menjadi jurang yang memisahkan daerah dari haknya.
Menuntut Keadilan, Bukan Sekadar Belas Kasihan
Permasalahan ini bukan sekadar soal regulasi, melainkan soal keberpihakan. Selama ini, tata kelola migas masih terlalu didominasi oleh orientasi profit korporasi.
Perusahaan migas dan pemerintah pusat seolah-olah menganggap daerah penghasil hanya sebagai objek, bukan subjek yang memiliki hak. Dampak sosial dan lingkungan seringkali ditanggung daerah, sementara keuntungan ekonomi yang besar melayang ke pusat dan korporasi.
Inilah mengapa Bupati Fauzi menuntut adanya perubahan paradigma. Ia mengingatkan Kangean Energi Indonesia (KEI) dan perusahaan migas lainnya untuk tidak hanya berpandangan business oriented, melainkan juga social oriented.
Ini bukan sekadar meminta dana CSR (Corporate Social Responsibility) sebagai bentuk belas kasihan. Ini adalah tuntutan agar industri migas menjadi motor penggerak ekonomi lokal, yang memberdayakan masyarakat dan menciptakan keberlanjutan.
Perjuangan untuk Hak yang Terabaikan
Sumenep, dengan kekayaan migasnya melalui Kangean Energi Indonesia (KEI), seharusnya menjadi contoh keberhasilan implementasi PI. Namun, seperti daerah lain, Sumenep harus berjuang keras untuk mendapatkan haknya. Ini adalah perjuangan yang harus disuarakan bersama. Bupati Fauzi menekankan, “Ini hak daerah, dan harus kita perjuangkan bersama.”
Gugatan ini adalah seruan bagi seluruh daerah penghasil migas di Indonesia untuk bersatu. Ini adalah momentum untuk mendesak pemerintah pusat, SKK Migas, dan operator migas agar duduk bersama, bukan sekadar memberikan janji manis, tetapi memastikan bahwa hak daerah benar-benar terwujud.
Sebab, keadilan energi hanya akan tercapai jika daerah tidak lagi menjadi penonton, melainkan pemilik dan pengelola sejati atas kekayaan alamnya. Hak daerah atas PI Migas bukan lagi sekadar wacana, melainkan tuntutan nyata yang harus diwujudkan.

















