Pada bulan Juli 1998 silam, pemerintah meluncurkan program bantuan pangan bersubsidi bernama Operasi Pasar Khusus (OPK) beras dan keberadaanya langsung disorot tajam oleh banyak pihak, meski disisi lain ada juga yang memujinya sebagai terobosan baru membantu rumah tangga miskin.
Akibat kritik dan sorotan yang datang silih berganti, pada tahun 2002 program OPK dirubah namanya menjadi Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN). Nama baru itu untuk mempertegas bantuan pangan bersubsidi itu lebih tepat sasaran bagi seluruh penerima manfaat (self targeting).
Sejumlah kajian ilmiahpun dilakukan oleh banyak kalangan, semisal oleh Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Pemerintah maupun dari Lembaga Internasional dan Lembaga Profesi Independen. Itu dilakukan sejak tahun 1998 -2003 silam. Beberapa hasil studi yang diyakini menjadi penyempurna program Raskin pada tahun 1998/1999, ada sekitar 26 Perguruan Tinggi dan LSM Selindo, kecuali Maluku dan Timur-Timur bersama-sama meakukan koreksi terhadap program OPK. Mereka menggunakan pedoman evaluasi yang disusun oleh Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Hasilnya menunjukkan jika bantuan beras sebanyak 20 kg/KK di klaim telah menolong 2/3 kebutuhan beras rumah tangga. Sorotan terbaru saat ini malah muncul dari kalangan arus bawah, dimana sebagian masyarakat miskin maupun masyarakat desa secara mayoritas (Baca: di Sumenep) justru mengaku tidak tahu menahu siapa sebenarnya warga yang masuk dalam katagori miskin, yang merupakan cikal bakal penerima manfaat berdasarkan ketentuan yang sudah diatur dalam Daftar Penerima Manfaat.
Ironisnya lagi, ketika transparansi mengenai DPM 1 ini disoundingkan pada sejumlah kepala desa (Kades) yang mendukung hanya beberapa orang saja. Padahal berdasarkan juknis yang ada, setiap penerima manfaat ‘wajib’ mengetahui daftar itu agar tidak menimbulkan kecemburuan social.
Jika keterbukaan DPM 1 ini terus menerus ‘disembunyikan’ oleh pihak OPK Raskin desa, maka persoalan kisruh raskin akan terus berkepenjangan dan sangat rawan terjadinya penyimpangan. Berbagai upaya dilakukan oleh sejumlah aktivis pemuda dan LSM, termasuk koordinasi intensif dengan Komisi A DPRD Sumenep. Namun belum juga menyadarkan para kepala desa untuk mencantumkan penerima raskin berdasarakan DPM tersebut.
Lalu apa makna dibalik keberatan para Kades itu mencantumkan nama-nama warga miskin yang tertera di DPM? Apakah ada kaitannya dengan pendistribusian raskin di sejumlah desa yang sengaja dibagikan dengan cara pemerataan. Sedang system pemerataan itu, dinilai sebagian kalangan hanya ‘akal-akalan’ Kades saja untuk tidak mendistribusikan raskin sesuai dengan DPM.
Dalam hal ini, saya salud dengan Kepala Desa Ketawang Karay, Kecamatan Ganding, yang beberapa waktu lalu dengan terbuka menyatakan siap mencantunkan penerima raskin sesuai dengan ketentuan DPM 1. Bagaiman dengan para kepala desa yang lain? Semoga punya nyali untuk benar—benar membantu meringankan kebutuhan pangan para keluarga tidak mampu. Amin. (*)ferry.arbania@gmail.com
Penulsi : Ferry Arbania
Sumber : Surat Kabar Harian Memorandum Surabaya (edisi cetak)