Scroll untuk baca artikel
Hot Expose

Penghentian Kasus Sjamsul Nursalim, Antara SP3 atau Deponeer

Avatar photo
199
×

Penghentian Kasus Sjamsul Nursalim, Antara SP3 atau Deponeer

Sebarkan artikel ini

Di depan DPR, Jaksa Agung dengan lantang mengatakan keinginan banding pembatalan SP3 Sjamsul lantaran penghentian perkara itu menggunakan deponeer. Meski keliru ucap, pernyataan Hendarman itu dinilai bentuk ketidakpahaman Hendarman atas perkara KLBI dan BLBI.

Ada yang aneh dari jawaban orang nomor satu Kejaksaan Agung di depan forum anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada Rapat Kerja antara Korps Adyaksa dengan Komisi Hukum DPR pada Rabu (25/6) lalu. Ini perihal penegasan keberanian Jaksa Agung Hendarman Supandji mengusut penyelesaian kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Masalah berani atau tidak, saya katakan, saya berani pak. Asal sejauh alat bukti itu mendukung. Karena, perkara BLBI itu ruwet, ujar Hendarman menjawab pertanyaan anggota Dewan. Ruwet, urainya, sebab di situ ada Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi mereka yang kooperatif. Selain itu, ada yang dianggap non kooperatif. Selama ini, untuk bagian yang telah diganjar SKL dan dinyatakan telah koperatif, Kejaksaan tidak dapat jatah untuk mengusut karena sudah menjadi urusan Menteri Keuangan.

Meski sudah dikeluarkan SP3 terhadap Sjamsul Nursalim�obligor kelas kakap penguasa Bank Dagang Negara Indonesia�atas rekomendasi DPR, Kejaksaan kembali mengusut perkara itu. Walaupun saya merasa tindakan ini takut ada kekeliruan, saya sudah membentuk tim jaksa 35 dan ternyata meleset juga. Jauh di luar harapan kami. Kalau sekarang saya suruh buka lagi, berani saya. Tapi apakah dalam perjalanan nanti tidak terjadi Urip ke-2 Urip ke-3? sergahnya.

Tugas menyelesaikan perkara BLBI dan KLBI memang disebar ke tiga institusi. Untuk debitor yang telah mendapat SKL dan dinilai kooperatif, perkaranya ditangani Menteri Keuangan. Sedangkan selebihnya, bagi obligor yang belum mengantongi SKL dan dianggap tak kooperatif, perkaranya diserahkan pada Kejaksaan dan Kepolisian.

Tanpa ditanya oleh anggota Dewan, Hendarman malah menyinggung soal pembatalan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap perkara Sjamsul Nursalim oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Untuk pembatalan itu, kami mengajukan banding. Karena itu bukan SP3. Itu adalah deponeering, jelasnya.

Penjelasan Hendarman itu sebenarnya mencengangkan. Sebab, SP3 yang diuji oleh sebuah LSM di Jawa Tengah bernama MaKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) itu jelas-jelas sebuah SP3. Dikeluarkan dengan mendasarkan pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP dengan mengganggap peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Pada 6 Mei 2008 lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penerbitan SP3 terhadap perkara Sjamsul itu tidak sah. Hakim memandang, pemberian SKL tidak menghilangkan dugaan terjadinya tindak pidana. Hakim berpendapat, Inpres 8/2002 tidak bisa dijadikan alasan penyidik untuk menyatakan sebuah peristiwa bukan tindak pidana seperti yang telah dipersangkakan.

Hakim tunggal PN Jaksel Haswandi dalam pertimbangannya mengatakan PN Jakarta Selatan berwenang mengadili permohonan itu sebab yang dimohonkan diuji memang SP3. Jika PN Jaksel merasa berwenang, hal ini tentu dilandasi lantaran beleid yang diuji itu benar merupakan sebuah SP3, bukan sebuah deponering yang menjadi ranah diskresi Jaksa Agung. Sayang, gayung jawaban Hendarman itu tidak disambut oleh forum anggota Komisi III DPR. Mereka memilih tidak menanggapi soal pernyataan deponeering itu.

Saat hal itu dikonfirmasi pada Direktur Perdata pada Perdata dan TUN (Datun) Dachamer Munthe, ia membantah pandangan Jaksa Agung itu telah menjadi keyakinan korps. Ia meluruskan pernyataan pimpinannya. Dia mengatakan, dari putusan PN Jaksel, Kejaksaan justru seakan diminta untuk menerbitkan deponeering untuk menghentikan kasus itu. Ya jelas nggak bisa kita terbitkan deponeering. Pertimbangan kepentingan umumnya apa di situ, ujarnya kepada hukumonline.

Dihubungi terpisah Senin (30/6), Koordinator MaKI Boyamin Saiman menganggap aneh pernyataan Hendarman di depan Dewan itu. Meski mungkin salah ucap, Boyamin menilai Hendarman tidak betul-betul menguasai perkara-perkara BLBI, KLBI dan hubungannya dengan penerbitan SKL. Ini menunjukkan Jaksa Agung tidak menguasai perkara itu. Atau tidak mau tahu, ujarnya.

Hingga kini, Boyamin mengaku belum menerima memori banding dari Kejaksaan. Mana ini, katanya mau banding ditunggu-tunggu ngga dikirim-kirim memori (banding)-nya, ujar Boyamin. Mengenai penerbitan deponeer untuk mengganti SP3 yang sudah dinyatakan tidak sah, Boyamin juga meragukan Kejaksaan bisa melakukan hal itu.

Syarat demi kepentingan umum, kata Boyamin, sangat subjektif. Sebab, sepengetahuan dia, untuk mengeluarkan deponeer itu, Kejaksaan harus meminta pertimbangan dari tiga lembaga lain, yakni DPR, Dephukham dan Mahkamah Agung. Kalaupun deponeer tetap terbit, ujarnya, beleid itu tetap akan dia lawan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Chaerul Huda, pakar hukum acara pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta berpendapat, deponir adalah istilah umum yang digunakan untuk menghentikan penuntutan pidana, yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Secara teoritik, dan praktik di beberapa negara lain, semua jaksa memiliki kewenangan itu, bukan hanya jaksa agung, kata Huda.

Penggunaan deponir, ujar Huda, merupakan penerapan asas oportunitas. Jaksa dalam proses penuntutan perkara pada prinsipnya terdapat dua asas. Yaitu asas legalitas, di mana jaksa harus menuntut setiap perkara berdasarkan peraturan yang berlaku. Kedua, asas oportunitas, dimana jaksa menyampingkan perkara demi kepentingan umum.

Batasan mengenai hal apa saja yang termasuk ke dalam ‘kepentingan umum’, Huda menyatakan tidak ada satu pun peraturan hukum yang memerinci secara jelas. Sejauh ini hanya diatur dalam penjelasan Pasal 35 huruf c undang-undang kejaksaan (UU No 16 Tahun 2004, red) yang menyebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat, sambungnya. singkatnya, Deponir benar-benar diskresi jaksa agung.

Hal ini juga muncul dari pendapat Mudzakir. Pakar hukum acara pidana Universitas Islam Indonesia itu berpendapat, hingga saat ini belum ada batasan-batasan yang jelas mengenai kepentingan umum. Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan hanya mengatur secara global dan tidak konkret. Oleh karenanya dalam praktik, maksud dari ‘kepentingan umum’ dalam deponir menjadi sangat relatif dan subjektif. Hal ini, menurutnya jelas merugikan para pencari keadilan.

Kejaksaan Agung saat ini masih mengangani 8 obligor dari 34 obigor tak kooperatif. Kedelapan itu adalah yang terkait dengan PSP Bank AKEN, Bank Pelita, Bank Deka, Bank Central Dagang, Bank Centris, Bank Orient, Bank Dewa Ruci, dan Bank Arya Panduarta. (Hukum Online)