MADURA EXPOSE— Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan memproses sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) meski selisih suara yang dijadikan syarat pengajuan sengketa melebihi batas.
Sesuai Pasal 158 Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, batas maksimal selisih suara untuk pengajuan sengketa hasil Pilkada ditetapkan sebesar 2 persen. Aturan ini dikritik pemerhati pilkada.
Ketua MK Arief Hidayat menjelaskan, dalam proses penyelesaian sengketa pilkada, pemohon akan ditanya dan diminta menunjukkan bukti. Jika selisih suara di atas ketentuan namun pemohon dapat menunjukkan bukti, maka perkara bisa dilanjutkan. Dia beralasan menggunakan landasan internal.
“MK akan mempertimbangkan untuk meneruskan perkara tersebut ke pemeriksaan pokok perkara,” kata Arief ketika dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (3/1).
Aturan batas maksimal selisih suara untuk pengajuan sengketa Pilkada menimbulkan pro kontra lantaran dianggap terlalu ketat dan bisa dijadikan senjata bagi MK untuk menggugurkan permohonan yang tidak memenuhi ketentuan selisih suara tanpa melihat adakah substansi atau permasalahan lain dalam proses penyelenggaraan pilkada tersebut.
Arief menuturkan, dalam proses penyelesaian sengketa Pilkada, pihaknya berdiri di atas Undang-Undang. Sehingga jika ada keberatan dengan isi Undang-Undang seharusnya mengajukan judicial review.
“Jangan sekarang sudah berjalan lalu protes. Kalau mau, silakan ajukan judicial review, tapi kan berlakunya untuk pemilu berikutnya karena ini tidak berlaku surut,” katanya.
“Kalau ada masyarakat misal pemerhati pilkada, keberatan dengan Undang-Undang tersebut kenapa tidak judicial review pasal 158?” tambahnya.
Arief mengklaim, MK tengah fokus menangani perkara perselisihan hasil pilkada serentak. Sehingga jika ada permohoman uji materi undang-undang akan dikesampingkan lebih dulu.
“Sehingga dalam memproses perkara perselisihan hasil pilkada, MK harus tunduk pada UU yang berlaku. Kalau kita langgar Undang-Undang kan bahaya, kan terkait kode etik dan aturan perundang-undangan. Tidak boleh melanggar Undang-Undang. Itu prinsip umum,” bebernya.
Dia juga menepis anggapan bahwa MK hanya melihat aturan selisih suara dalam menyeleksi permohonan yang masuk. “Ada proses pengkajian lebih lanjut terhadap seluruh permohonan yang masuk. Pada 4 dan 5 Januari 2016, MK akan menggelar perkara internal.
Sedangkan persidangan perselisihan hasil pilkada baru akan digelar 7 Januari mendatang,”jelasnya.
[noe/mdk]