Scroll untuk baca artikel
RANAH PESANTREN

Menelisik Akar Masalah: Mengapa Minat Belajar Siswa Madrasah dan Pesantren di Desa Kian Menurun?

Avatar photo
111
×

Menelisik Akar Masalah: Mengapa Minat Belajar Siswa Madrasah dan Pesantren di Desa Kian Menurun?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Fathol Bari,S.Sos

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan akses informasi, lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah dan pesantren, khususnya yang berada di daerah terpencil dan pedesaan, menghadapi tantangan besar. Salah satu isu krusial yang kian mengemuka adalah rendahnya minat siswa untuk belajar di madrasah atau pesantren tersebut. Fenomena ini bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari berbagai faktor kompleks yang saling berkaitan, mengancam keberlangsungan tradisi pendidikan Islam di akar rumput.

 

Pesona Gemerlap Dunia Luar dan Minimnya Informasi

 

Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada penurunan minat adalah daya tarik dunia luar yang kian menguat. Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi membuat siswa di desa terpapar pada gaya hidup, cita-cita, dan peluang yang jauh berbeda dari apa yang ditawarkan madrasah atau pesantren tradisional. Mereka melihat media sosial, tayangan televisi, atau cerita teman tentang pekerjaan dengan gaji lebih tinggi di kota, yang seringkali tidak membutuhkan latar belakang pendidikan agama yang mendalam.

Ditambah lagi, minimnya informasi yang akurat dan inspiratif tentang potensi masa depan lulusan madrasah atau pesantren di desa. Masyarakat seringkali hanya melihat peluang kerja yang terbatas, padahal banyak lulusan madrasah atau pesantren yang sukses di berbagai bidang, mulai dari akademisi, wirausaha, hingga birokrasi. Ketidaktahuan ini menciptakan persepsi bahwa belajar di madrasah atau pesantren hanya relevan bagi mereka yang ingin menjadi ulama atau guru agama, menutup mata pada spektrum karier yang lebih luas.

 

Kualitas Pendidikan dan Fasilitas yang Terbatas

 

Kualitas pendidikan dan fasilitas yang belum optimal juga menjadi pekerjaan rumah besar. Banyak madrasah dan pesantren di desa terpencil masih bergulat dengan:

  • Keterbatasan Tenaga Pendidik: Kekurangan guru yang berkualitas, minimnya pelatihan, atau bahkan guru dengan beban mengajar yang sangat tinggi karena kurangnya staf.
  • Kurikulum yang Kurang Relevan: Beberapa kurikulum mungkin terasa kurang adaptif terhadap kebutuhan zaman dan tantangan global, sehingga siswa merasa apa yang mereka pelajari kurang relevan dengan dunia nyata.
  • Fasilitas yang Memprihatinkan: Bangunan yang seadanya, kurangnya perpustakaan yang memadai, laboratorium komputer atau sains yang tidak berfungsi, serta akses internet yang terbatas membuat pengalaman belajar menjadi kurang menarik dibandingkan sekolah umum di perkotaan.
  • Metode Pengajaran Monoton: Jika metode pengajaran masih dominan ceramah tanpa variasi interaktif atau penggunaan teknologi, siswa akan mudah bosan dan kehilangan minat.

 

Faktor Ekonomi dan Beban Orang Tua

 

Tidak bisa dimungkiri, faktor ekonomi keluarga juga berperan penting. Meskipun biaya di madrasah atau pesantren terpencil mungkin relatif lebih murah dibandingkan lembaga pendidikan di kota, namun bagi keluarga di desa yang serba pas-pasan, biaya tersebut tetap menjadi beban. Ada pula pemikiran bahwa menyekolahkan anak di madrasah atau pesantren tidak akan langsung memberikan return finansial yang cepat, berbeda dengan mengirim anak untuk bekerja di kota setelah lulus SMP atau SMA.

Selain itu, beban pekerjaan rumah tangga atau membantu orang tua di ladang/kebun seringkali menjadi alasan anak-anak enggan untuk melanjutkan pendidikan atau memilih sekolah yang jam belajarnya lebih fleksibel. Mereka merasa harus segera berkontribusi pada pendapatan keluarga.

 

Persepsi Masyarakat dan Dukungan Lingkungan

 

Persepsi masyarakat desa terhadap madrasah dan pesantren juga memengaruhi. Jika ada anggapan bahwa madrasah/pesantren hanya untuk anak-anak yang “nakal” atau “kurang mampu” secara akademik, ini akan menurunkan minat siswa berprestasi. Dukungan dari komunitas dan tokoh masyarakat juga sangat penting. Apabila pemimpin desa atau tokoh agama setempat kurang aktif dalam mempromosikan dan mendukung madrasah/pesantren, semangat siswa dan orang tua pun bisa luntur.

 

Solusi Jangka Panjang: Revitalisasi dan Inovasi

 

Mengatasi rendahnya minat belajar ini memerlukan pendekatan holistik dan berkelanjutan:

  1. Peningkatan Kualitas dan Relevansi Kurikulum: Mengintegrasikan pelajaran agama dengan keterampilan abad ke-21 (misalnya literasi digital, kewirausahaan) dan kemampuan hidup praktis.
  2. Investasi pada Tenaga Pendidik: Pelatihan berkelanjutan, peningkatan kesejahteraan, dan rekrutmen guru-guru muda yang inovatif.
  3. Perbaikan Fasilitas dan Infrastruktur: Membangun atau merenovasi gedung, melengkapi perpustakaan, menyediakan akses teknologi, dan menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan inspiratif.
  4. Pemasaran dan Branding Positif: Mempromosikan kisah sukses alumni, menonjolkan keunggulan madrasah/pesantren dalam membentuk karakter dan moral, serta menunjukkan beragam peluang karier bagi lulusannya.
  5. Dukungan Komunitas dan Pemerintah: Mendorong partisipasi aktif masyarakat dan pemerintah daerah dalam mendukung madrasah/pesantren melalui dana hibah, beasiswa, atau program kemitraan.
  6. Pengembangan Program Unggulan: Menciptakan program ekstrakurikuler yang menarik minat siswa, seperti pengembangan seni kaligrafi, tilawah, pidato, atau bahkan teknologi terapan yang berbasis nilai agama.

Rendahnya minat siswa di madrasah dan pesantren terpencil adalah cerminan dari tantangan zaman yang harus dihadapi dengan inovasi dan adaptasi. Dengan usaha kolektif dari semua pihak — pemerintah, yayasan, masyarakat, hingga orang tua — madrasah dan pesantren di desa dapat kembali bersinar, terus menjadi benteng pendidikan karakter dan keilmuan Islam, mencetak generasi yang tak hanya berilmu agama tinggi, namun juga kompeten dan relevan di era modern.