Scroll untuk baca artikel
Hot Expose

Mahasiswa dan Dosen Uji Formil Kitab Undang-Undang Perdata

Avatar photo
263
×

Mahasiswa dan Dosen Uji Formil Kitab Undang-Undang Perdata

Sebarkan artikel ini

MaduraExpose.com- Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (MHJ), Wahyu Nugroho selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, dan Denny Rudini selaku Advokat mengajukan Uji Formil Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. KUH Perdata yang sebagian besar isinya merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda, oleh para pemohon dianggap sudah usang dan justru menimbulkan kebingungan bagi para mahasiswa maupun dosen yang mengajarkan Ilmu Hukum Perdata. Sidang perdana perkara No. 60/PUU-XII/2014 ini digelar Rabu (27/8).

Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, salah satu Pemohon yaitu Wahyu Nugroho menyampaikan argumentasi permohonan. Wahyu mengatakan KUH Perdata yang selama ini digunakan, baik dalam ruang perkuliahan maupun praktik hukum, memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang. Sayangnya, KUH Perdata masih bersifat materiil melalui keputusan Pemerintah Hindia-Belanda yang diundangkan dalam Staatsblad No. 23 Tahun 1847 dan isinya mengikat langsung kepada setiap penduduk.

Selain itu, KUH Perdata juga dianggap secara formil jauh dari nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi sumber segala sumber hukum negara Indonesia. Dalam proses perkuliahan, masih ujar Wahyu, semua fakultas hukum masih berkiblat kepada Burgerlijk Wetboek (BW) yang dianggap sudah tidak relevan lagi untuk dipakai sebagai pegangan dosen maupun mahasiswa.

Menyitir buku Maria Farida Indrati selaku Hakim Konstitusi, Wahyu mengatakan pemikiran tentang kodifikasi hanya akan menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan mungkin selalu ketinggalan zaman. Akibatnya, komunitas hukum yang terdiri dari dosen, mahasiswa hukum, polisi, jaksa, hakim, advokat, dan notaris terbelenggu oleh cara berfikir sangat klasik atau zaman batu.

“Saya sendiri pun pada saat melakukan pengkajian dan mengajarkan mata kuliah hukum perdata dan mata kuliah turunannya merasa kesulitan dalam menafsirkan pasal per pasal untuk dihubungkan dengan kasus di masyarakat yang perkembangannya luar biasa. Apalagi, didukung oleh perkembangan teknologi informasi yang memang luar biasa. Kesalahan dalam menafsirkan, apalagi diajarkan kepada mahasiswa fakultas hukum, akan mengakibatkan penyesatan dalam dunia pendidikan,” ujar Wahyu.

Sementara itu Denny Rudini, Pemohon yang berprofesi sebagai advokat mengatakan BW di Belanda sudah diubah. Namun di Indonesia, justru belum ada satu pasal pun dalam BW yang direvisi. “Namun sampai detik ini tidak ada suatu putusan atau peraturan yang menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan tidak berlaku. Padahal secara relevansinya, itu sudah tidak berlaku, sudah tidak bisa dipakai pada zaman sekarang dengan adanya pemisahan antar warga negara,” jelas Denny.

Hal senada juga disampaikan Kurniawan mewakili Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta mengatakan kesulitan menafsirkan pasal-pasal dalam KUH Perdata. Kurniawan juga mengatakan bila dikaitkan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, KUH Perdata telah jauh dari kaidah-kaidah yang termuat di dalam asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Salah satu kaidah yang dilanggar menurut Kurniawan yaitu menggunakan bahasa yang tidak menimbulkan multitafsir. “KUH Perdata menurut kami, kumpulan mahasiswa yang ada di DKI Jakarta ini, tidak memenuhi asas-asas yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Artinya dari segi formil, KUH Perdata ini tidak memenuhi kaidah-kaidah tersebut. Kerugiannya bagi kami mahasiswa, ketika kami di ruang-ruang diskusi bahkan di ruang-ruang kuliah, kami agak kesulitan untuk menafsirkan atau membaca bahasa atau redaksional yang ada di dalam KUH Perdata itu,” jelas Kurniawan sembari menyampaikan kerugian konstitusional yang dialaminya.

Menanggapi permohonan Pemohon, Maria Farida Indrati yang menjadi anggota panel hakim pada persidangan kali ini menyampaikan saran agar Pemohon memilah kembali pasal-pasal yang hendak diujikan. Sebab, tidak semua isi BW ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Maria pun memberikan contoh UU Hinder Ordonantie yang bila masih diterapkan akan memudahkan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat RT/RW. Bahkan, dengan UU Hinder Ordonantie, penempatan bangunan pun diatur dengan baik.

“Kalau Anda akan mengajukan ini, mohon diambilkan saja pasal-pasal mana yang Anda memang tercederai oleh pasal-pasal itu. Jadi kalau semuanya ya enggak bisa. Kalau uji formal memang bisa menyatakan ini semuanya sudah enggak berlaku, tapi untuk pengujian formal ini sudah melalui waktunya 45 hari ya,” saran Maria.

(Yusti Nurul Agustin/Mahkamah Konstitusi)