Madura Expose- Meski beberapa waktu lalu, kasus dugaan korupsi pengadaan lahan SMA batuan sudah dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan ) namun bukan berarti kasusnya berhenti begitu saja. Hal itu pernah disampaikan Roch. Adi Wibowo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kejari Sumenep, Madura, Jawa Timur. Berikut lengkap pernyataan orang nomor satu di Kejari Sumenep saatitu, yang dilansir Madura Expose dari beritajatim.com:
Penyidik Kejari Sumenep Siap Buka Korupsi SMA Negeri Batuan
Tim Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep siap untuk membuka lagi atau memproses ulang kasus dugaan korupsi pengadaan lahan SMA Negeri Batuan, meskipun pihaknya telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
“SP3 itu bukan akhir dari segalanya. Kalau memang ditemukan bukti baru dan mendukung penyidikan, tentu saja dengan senang hati kasus itu bisa dibuka lagi,” kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sumenep, Roch. Adi Wibowo.
Pernyataan orang nomor 1 di jajaran korps adhyaksa Sumenep ini menjawab tudingan ratusan mahasiswa yang mengibarkan bendera PMII, saat berunjuk rasa, Selasa (02/08/14). Para mahasiswa menilai SP3 yang dikeluarkan Kejari cacat hukum.
“Tidak ada produk hukum yang cacat hukum. SP3 itu kami terbitkan sesuai prosedur. Kami telah melakukan proses hukum sesuai mekanisme,” ujarnya.
Ia membantah anggapan bahwa ada yang ditutup-tutupi terkait penerbitan SP3 kasus tersebut. Menurutnya, saat SP3 diterbitkan, pihaknya langsung membuka ke publik melalui media massa. “Kalau setelah SP3 turun, kemudian saya baru ngomong ke publik 2 tahun berikutnya, bolehlah saya dituduh menutup-nutupi. Tapi ini kan tidak. Begitu SP3 turun, saya langsung sampaikan ke publik,” tandasnya.
Roch. Adi memaparkan, untuk kasus dugaan korupsi pengadaan lahan SMA Batuan yang menelan anggaran Rp 1,7 milyar, berdasarkan hasil ekapose dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara belum bisa diperkirakan. “Kemudian ada tim appreisal dari kantor jasa penilai publik di Surabaya. Mereka sudah menjelaskan tafsiran harga lahan SMA Batuan, yang ternyata tidak jauh beda dengan harga yang ditentukan Pemkab. Jadi saya tidak main-main dengan kasus ini,” tandasnya.
Sebelumnya, Kejaksaan negeri Sumenep menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) no.01/0-5-34/D.1/07/2014 tertanggal 3 juli 2014. Penghentian penyidikan mengacu pada hasil ekspose audit BPKP, bahwa kerugian negara tidak dapat dihitung. Tetapi ditemukan unsur melawan hukum dalam kasus tersebut.
Unsur melawan hukum tersebut misalnya dalam tahapan pengadaan lahan SMA Batuan, tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seperti prosedur izin lokasi penentuan SMA batuan harusnya ada dokumen perencanaan, tetapi dalam kenyataannya tidak ada. Kemudian penentuan lokasi harusnya seijin Gubernur, tetapi untuk SMA Batuan tidak dilakukan. Selain itu, penetapan penunjukan appraisal harusnya Bupati. Tetapi untuk kasus SMA Batuan, hanya dilakukan PPK (pejabat pembuat komitmen).
Versi penyidik Kejari Sumenep, BPKP belum dapat menemukan kerugian negara, karena dalam penentuan nilai tanah telah ditunjuk Kantor jasa penilai publik (KJPP), yang menafsir harga Rp 178 ribu per meter. Tafsiran harga tersebut tidak jauh dari harga yang ditetapkan Pemkab, yakni Rp 175 ribu per meter.
Meski harga tersebut jauh di atas NJOP (nilai jual objek pajak) di Batuan yang hanya bernilai Rp 50 ribu per meter, namun penyidik Kejaksaan bersikukuh menilai wajar, karena menurut keterangan kantor pajak, NJOP tidak bisa menjadi patokan riil harga tanah. Harga tanah tergatung kesepakatan kedua belah pihak.
(tem/ted)