SUMENEP — Di tengah predikatnya sebagai penghasil rumput laut terbesar di Jawa Timur, Kabupaten Sumenep menyimpan ironi pahit berupa bangunan Klaster Rumput Laut yang mangkrak dan terbengkalai.
Proyek yang menelan dana miliaran rupiah ini kini hanya menjadi monumen pemborosan anggaran, tanpa pernah benar-benar berfungsi. Investigasi mengungkap bahwa kompleks yang dibangun di dua lokasi berbeda ini telah terlantar selama bertahun-tahun, menunggu “izin operasional” yang tak kunjung datang.
Aset Mubazir Sejak 2016
Informasi yang beredar di internet, termasuk laporan dari media lokal, menunjukkan bahwa masalah mangkraknya Klaster Rumput Laut ini telah menjadi sorotan sejak lama. Pada tahun 2016, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sumenep sudah mengakui bahwa bangunan tersebut belum difungsikan. Alasannya? Belum ada izin operasional dari pemerintah pusat.
Kondisi ini tidak membaik. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 2018, laporan dari koranmadura.com semakin memperjelas situasi. Bangunan yang berlokasi di Desa Batuan dan Kecamatan Kota itu telah terbengkalai selama bertahun-tahun, bahkan sejak lima tahun sebelumnya. Kondisinya pun kian memprihatinkan. Tanpa perawatan, beberapa bagian bangunan sudah mulai rusak.
Proyek yang seharusnya menjadi pusat pengolahan dan pemberdayaan petani rumput laut ini justru menjadi pemandangan yang menyedihkan. Dinding mulai retak, atap bocor, dan fasilitas di dalamnya mungkin sudah tidak layak pakai.
Dalih Klasik “Izin Operasional”
Penyebab utama dari mangkraknya proyek ini adalah ketiadaan izin operasional dari pemerintah pusat. Dalih ini, meskipun terdengar valid, menimbulkan pertanyaan serius. Mengapa sebuah proyek senilai miliaran rupiah bisa dibangun tanpa kepastian perizinan yang jelas sejak awal? Apakah ada kegagalan koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat? Atau, apakah proyek ini memang dipaksakan tanpa perencanaan yang matang?
Kejadian ini menunjukkan adanya kelemahan fundamental dalam tata kelola proyek pemerintah. Sebuah proyek strategis seharusnya memiliki perencanaan yang komprehensif, mulai dari studi kelayakan, ketersediaan anggaran, hingga perizinan dan kesiapan operasional. Ketika salah satu elemen ini gagal, maka seluruh proyek berpotensi menjadi mubazir, merugikan uang rakyat, dan membuang potensi ekonomi yang sangat berharga.
Mangkraknya klaster rumput laut ini bukan hanya sekadar masalah bangunan yang rusak. Ini adalah cerminan dari kegagalan birokrasi, pemborosan anggaran, dan ketidakpedulian terhadap nasib ribuan petani yang seharusnya diuntungkan dari proyek ini. Bangunan ini kini berdiri sebagai pengingat pahit bahwa niat baik tanpa eksekusi yang tepat hanya akan menciptakan sebuah monumen kegagalan.[spm/dbs/gim]

















