SUMENEP, Jatim – Perkembangan kasus dugaan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area Pantai Tapakerbau, Desa Gersik Putih, Gapura, Sumenep, yang kini telah menetapkan sejumlah tersangka oleh Polda Jawa Timur, bukan sekadar drama hukum pidana. Di balik ranah yudisial, terdapat narasi besar tentang perjuangan ekologis dan pelestarian ruang hidup masyarakat pesisir.
Hal ini ditegaskan oleh Marlaf Sucipto, kuasa hukum pelapor. Menurutnya, tujuan utama advokasi yang ia lakukan tidaklah semata-mata untuk memidanakan pihak lain, melainkan sebuah mandat lingkungan untuk melindungi ekosistem kritis.
Garis Pertahanan Ekologis: Pantai Bukan Lahan
Marlaf Sucipto dengan tegas menyatakan bahwa inti dari pergerakan ini adalah prinsip ekologis. “Pantai itu sejak dulu adalah laut, bukan lahan. Kalau dipaksakan jadi tambak garam, masyarakat akan kehilangan ruang hidup,” ujarnya.
Pernyataan ini menyoroti dampak jangka panjang dari konversi lahan pantai menjadi tambak garam:
- Hilangnya Ruang Hidup Pesisir: Alih fungsi kawasan pantai menjadi lahan milik pribadi melalui SHM secara langsung mencabut hak akses masyarakat lokal—nelayan, petambak tradisional, dan warga pesisir—atas sumber daya alam komunal.
- Ancaman Ekosistem: Konversi pantai menjadi tambak garam, terutama di area yang secara alami adalah zona pasang surut, berpotensi merusak keseimbangan habitat, mengancam biota laut, dan mempercepat erosi pantai.
- Prinsip Keberlanjutan: Marlaf Sucipto menggarisbawahi pentingnya perlindungan wilayah pesisir sebagai zona penyangga ekologis dan warisan alam, yang harus dijaga dari eksploitasi berlebihan yang didorong oleh kepentingan sesaat.
Kasus Hukum sebagai Alat Jaga Lingkungan
Terungkap dari surat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur bernomor B-7588/M.5.4/Eoh.1/09/2025 (tertanggal Jumat, 26/9/2025) bahwa kasus ini telah memasuki babak penetapan tersangka, yang di antaranya disebut berinisial M (mantan Kades setempat) dan kawan-kawan.
Namun, bagi Marlaf Sucipto, penetapan tersangka ini adalah konsekuensi logis dari upaya hukum yang ditempuh untuk mengoreksi kesalahan administratif yang mengancam lingkungan.
Hukum pidana dalam konteks ini berfungsi sebagai instrumen terakhir untuk mengembalikan fungsi pantai ke status semula sebagai wilayah publik dan zona konservasi.
“Sudah ada penetapan tersangka, tidak hanya satu orang saja. Tunggu saja berikutnya,” kata Marlaf Sucipto pada Sabtu (4/10/2025), menekankan bahwa advokasi ini berfokus pada pemulihan kedaulatan lingkungan yang sempat direbut melalui dugaan penyimpangan.
Secara ekologis, gerakan Marlaf Sucipto merupakan panggilan darurat untuk memastikan bahwa pembangunan di Sumenep, khususnya di wilayah pesisir, tetap berpegang pada prinsip keadilan antar-generasi, menjamin bahwa Pantai Tapakerbau tetap menjadi milik bersama dan berfungsi sebagai paru-paru ekosistem pesisir, bukan sekadar komoditas tambak garam. [*]

















