MADURA EXPOSE—Industri farmasi menjadi salah satu prioritas setelah ketahanan pangan, yang disorot oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Industri ini rentan adanya korupsi.
Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono, mengatakan itu dalam diskusi bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) dengan tema “Etika Pemasaran dan Prinsip Anti Gratifikasi di Sektor Kesehatan” di Royal Kuningan Hotel, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan,
“Dari datanya Transparency International Indonesia (TII-red) indeks farmasi makin korup nomor tujuh dari kategori-kategori yang ada. Tren sekarang KPK mulai menyasar swasta, yang ditangani oleh KPK sudah 25 persen,” papar Giri. Menurut Giri, korupsi yang dilakukan oleh perusahaan farmasi di antaranya adalah gratifikasi. Ia menjelaskan, menurut hukum yang menjadi subyek gratifikasi person atau pelakunya, namun saat ini industri atau korporasi farmasi juga bisa ditindak.
“Tren baru korporasi akan di-prosecute, tersangkanya dan perusahaan. Hal ini dimungkinkan oleh UU Tipikor dan UU KPK,” imbuhnya. Giri pun menyarankan perlunya IDI meng-upgrade aturan yang mereka miliki, bukan hanya soal suap tapi gratifikasi juga dimasukkan di dalamnya.
“Kode etik IDI di-upgrade bukan cuma comply suap tapi gratifikasi. Kalau suap kan senang sama senang, ada indikasi mempengaruhi independensi. Gratifikasi itu nggak perlu senang sama senang, orang itu ada harganya. Independensi juga tidak dipengaruhi,” jelasnya.
Giri kemudian menceritakan keluhan seorang dokter berstatus pegawai negeri. Dokter itu merasa iri ada beda perlakuan dengan dokter swasta ketika berhadapan dengan marketing farmasi yang menawarkan keuntungan bila menggunakan produknya. Dokter PNS merasa selalu diatur oleh pemerintah dan rawan kena kasus hukum.
“Dokter PNS (merasa-red) dilarang-larang, temen yang swasta ugal-ugalan. Kita fokus di pemasaran yang tidak sehat atau tidak beretika,” tegasnya. Menanggapi pernyataan tersebut, Inspektur Investigasi Inspektorat Jenderal Kemenkes, Wayan Rai Suarthana menjelaskan, Kemenkes sudah membuat aturannya. Aturan tersebut tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 14 Tahun 2014.
“Isi dari Permenkes No. 14 Tahun 2014 tersebut mengatur tentang kategori gratifikasi, unit pengendalian gratifikasi dan mekanisme pelaporan gratifikasi,” ujar Wayan.
Wayan juga menjelaskan, Permenkes 14 Tahun 2014 mengatur tentang sanksi hukum, marketing fee yang sifatnya transaksional dan gratifikasi yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa berupa cashback.
“Gratifikasi yang tidak suap, cenderamata, kompensasi, sponsorship diberikan pada organisasi terkait pengembangan institusi. Yang jelas itu semua dilaporkan ke KPK,” katanya.
Senada dengan Kemenkes, IPMG sebagai asosiasi 24 perusahaan farmasi mendukung Permenkes 14 Tahun 2014 tersebut. Asosiasi yang terdiri dari perusahaan farmasi internasional itu mendukung sektor kesehatan yang bersih dari praktik kolusi.
“IPMG memiliki kode etik pemasaran yang wajib ditaati oleh 24 anggota IPMG dalam menjalankan bisnis mereka di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif IPMG, Parulian Simanjuntak, di tempat sama.
“IPMG sebagai mitra pemerintah memandang amat perlu agar pemangku kepentingan terkait dunia kesehatan untuk memiliki pandangan yang jelas mengenai etika pemasaran dan prinsip anti gratifikasi di industri kesehatan,” imbuhnya. Parulian kemudian menjelaskan, sudah bertahun-tahun meminimalisir interaksi dengan praktisi kesehatan berstatus PNS secara langsung. Asosiasinya memilih interaksi melalui institusi-institusi untuk menghindari konflik kepentingan. “Interaksi dengan praktisi kesehatan berstatus PNS harus seizin atasan,” katanya.
Sedangkan Ketua Majelis Kode Etik Kedokteran (IDI, Prijo Sidipratomo, menjelaskan bahwa aturan soal gratifikasi dan interaksi dengan perusahaan farmasi sudah dimiliki IDI dan sudah sangat jelas. “Sudah banyak dijelaskan dalam aturan dan pedoman yang dikeluarkan oleh IDI,” ujarnya.
[Medan bisnis]