Surat Terbuka Untuk DPP Partai
Assalamulaiakum Wr. Wb.
Selamat petang.
Kami tulis surat ini murni berangkat dari nurani. Setumpuk kegelisahan di kepala kami—tentu juga di kepala masyarakat Sumenep—sedikitnya bisa tersalur melalui surat aspirasi ini, surat terbuka. Ini bukan konspirasi, tentu saja. Tetapi, bila surat ini berkesan cacat pikir dan miskin logika, itu karena keterbatasan imajinisasi kami untuk mengubah kenyataan riil menjadi kenyataan teks, meski padahal, realitas politik kontemporer di daerah kami, di Sumenep ini, perlu sentuhan magis untuk menjadi beradab dan santun. Melalui surat ini, semoga saja.
Ini soal politik. Suksesi pemerintahan di Sumenep, setiap periode memang tampak berjalan lancar-aman. Ekspektasi masyarakat Sumenep untuk memilih pasangan pemimpin mereka begitu meriah dan ramah. Artinya, dengan kesimpulan yang sederhana, Pemilukada berjalan secara demokratis dan konstitutif. Bukankah begitu? Bisa saja iya, tetapi kadang tidak!
Pemilukada, dalam benak kecil kami, sebenanrya propaganda pemerintah untuk mengubah tatanan model demokrasi yang elitis menjadi populis. Propaganda yang luhur-budi, memang. Sejak 2005, dan sejak berlangsung pemekaran di setiap daerah, pemilihan kepala daerah dilaksanakan langsung. Tentu saja, dalam termenologi politik, kenyataan itu juga menjadi langgam pendidikan politik untuk masyarakat, terutama dari telaah partisipasi-aktif mereka. Inilah, barangkali, yang kemudian disinggung oleh banyak pemerhati sebagai “demokrasi partisipatoris”. Mungkin memang iya.
Kata banyak orang, Pemilukada adalah undakan menuju konsolidasi demokrasi dan pemberdayaan politik lokal (civility of political local). Berdasar kaca pandang administratif, Pemilukada memang setali tiga uang dengan spirit implementasi otonomi daerah. Bagaimanapun, pemberdayaan sektor lokal, baik politik, ekonomi, budaya, adalah konstribusi besar untuk semangat pemberdayaan sektor nasional. Makanya, isu daerah kini mencuat lebih seksi dan renyah di media ketimbang jaman dulu.
Tak heran, animo masyarakat untuk memilih pemimpin mereka begitu besar dan ekspektatif, seperti di Sumenep ini. Tetapi, dalam poilitik, partisipasi saja tidak cukup tanpa dua hal: duit atau nurani. Analisis politik sederhana kami sejauh ini menggambarkan indikasi superioritas duit bahkan bisa mengalahkan kemuliaan nurani. Kata orang, ini cerita lama. Tetapi bagi kami, dalam politik, lama atau baru tak akan pernah tentu. Istilah “incombent” dan “pemain baru” dalam kontestasi politik, Pemilukada misalnya, adalah bukti bahwa yang lama atau baru tak akan pernah tentu dan tak jadi soal.
Kali ini, kami akan sedikit bercurah resah tentang cerita lama itu: cerita yang sebenarnya tidaklah benar-benar lama, tetapi beranak-pinak. Tentang duit, oligharki, partai, dan dawuh, atau restu, atau rekomendasi, atau apalah sejenisnya..
Biaya politik itu tidaklah murah. Ini mafhum di benak setiap orang, petani sekalipun. Lalu bila ada yang ragu, lalu dengan pesimis bertanya, apakah yang lebih mahal dari ongkos politik, tentu kami jawab: ada, restu politik. Tetapi sepertinya, keduanya berjalin likat dan saling bertautan, antara ongkos politik dan restu politik. Seperti dua mata koin. Sejak transisi demokrasi, peran partai begitu kentara sebagai kendaraan politik di setiap kontestasi. Seperti transportasi umum, partai menyediakan tarif dan budget khusus. Yang begini ini, uang mahar namanya.
Seperti celoteh komedi di atas, fenomena itu memang “cerita lama”. Transaksi politik pada akhirnya akan memberikan jarak yang tipis dengan politik transaskional: bagi-bagi kekuasaan bagi para pemodal. Tetapi di balik semua itu, ada hal yang begitu penting yang kadang dilupakan, atau diingat tetapi terlindas nafsu politik: maklumat menjadikan Sumenep maju dan bermartabat. Selama beberapa kali suksesi pemerintahan, janji menjadikan Sumenep maju hanya buaian politis yang hingga kini tak jelas juntrungnya di mana.
Kami menghimbau kepada setiap DPP Partai untuk transparan dan kapebel. Mekanisme penjaringan calon harus benar-benar terbuka, profesional, dan proporsional. Kami tidak akan sibuk menyoal “uang mahar”, tetapi yang lebih penting, partai memiliki peran strategis untuk mencetus kader yang arif, cerdas, dan profesional. Sumenep memerlukan pemimpin yang inovatif dan berkualitas. Meskipun tidak menutup kemungkinan calon independen, tetapi jelas, mobilisasi massa partai dipercaya dapat menjulang suara sebanyak-banyaknya.
DPC Partai mesti melakukan komunikasi politik yang baik dengan petinggi partai pusat. Dalam realitasnya, aspirasi masyarakat yang dijaring pengurus partai di daerah jarang menjadi pertimbangan utama petinggi partai di tingkat pusat. Komonikasi politik partai ini penting untuk menjamin “restu politik”. Hindari transaksi politik yang berlebihan yang akan menggangu pembacaan politik atas partisipasi masyarakat.
Partai mesti menjadi kendaraan politik yang ramah dan nyaman. Mekanisme perekrutan calon harus benar-benar diperhatikan serius kualitas dan konstribusinya. Hindari nafsu mementingkan kepentingan kelompok, pribadi, dan kroni, untuk menjamin dedikasi dan kesungguhan calon untuk memperbaiki konstelasi sosial, politik, dan ekonomi di Sumenep. Bagaimanapun, partai pengusung calon bertanggaungjawab atas semua kinerja politik calon yang diusungnya.
Mari kita menjadi masyarakat yang tidak merugi, setidaknya tidak jatuh ke jurang dua kali. Kita belajar dari sejarah. Pengalaman adalah guru paling baik, kata pepatah yang sering kami dengar waktu SD dulu.
Kontestasi Pemilukada di Sumenep kini tinggal menghitung hari. Genderang perang akan segera ditabuh. Tapi ingat, pemilih cerdas adalah meraka yang memilih berdasar nurani, berdasar rekam-jejak dan konstribusi, bukan duit dan konspirasi.
Begitulah. Surat terbuka ini dibuat benar-benar dari nurani, sekali lagi. Semoga sedikit menjadi permenungan semua pihak, terutama pengurus partai sebagai lumbung pencetus calon. Bagaimanapun, kami menitipkan asa kepada DPP Partai untuk Sumenep 2015-2020 lebih baik. Semoga.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Sumenep, Idul Fitri, 17 Juli 2015.
SALAM JUANG FP-MK