Perhelatan akbar demokrasi di depan mata. Pada pesta demokrasi ini, rakyat akan memilih presiden, wakil presiden, DPD, DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten dan kota. Hanya saja perhelatan ini masih menyisihkan suatu kegundahan, yaitu adanya politik uang atau lebih populer di masyarakat dengan sebutan “serangan fajar”.
Serangan fajar begitu mengakar di masyarakat setiap kali akan menggelar perhelatan pesta demokrasi. Berkaca pada tahun pemilihan umum tahun 2019, Burhanuddin Muhtadi Guru Besar Bidang Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan, kalau pada pemilu 2014 dan pemilu 2019, ada 63,5 juta pemilih yang terlibat dalam politik uang untuk pemilihan legislatif. Lebih miris lagi, mereka yang terlibat sebagai penerima serangan fajar menganggap hal tersebut merupakan hal yang lumrah dan biasa-bisa saja. Mengutip hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019, sebanyak 48 persen masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa. Artinya politik uang sekan menjadi budaya yang dianggap sah-sah saja dilakukan.
Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan 40 persen responden menerima uang dari para peserta Pemilu 2019 tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Sementara itu, 37 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Jika dilihat dari data ini maka sebenarnya lebih banyak orang yang tidak merubah pilihannya walau telah menerima politik uang.
Jika demikian, apakah boleh menerima uang serangan fajar walau tetap berteguh pada pilihan hati? Benarkah ungkapan “ambil uangnya, jangan pilih orangnya.
Sebelum menjawab hal tersebut, harus dipahami bahwa serangan fajar merupakan bentuk politik uang yang mengancam tatanan demokrasi. Sebab hal ini akan mengorbankan mereka yang memiliki kapasitas, integritas, dan kapabilitas.
Serangan fajar atau politik uang merupakan tindakan pidana. Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa setiap orang yang memberikan atau menerima uang atau barang dengan maksud mempengaruhi pemilih agar memilih atau tidak memilih calon tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Serangan fajar dianggap sebagai bentuk korupsi politik yang merusak demokrasi dan melanggar hak asasi manusia. Serangan fajar sejatinya juga bertentangan dengan nilai-nilai agama, khususnya Islam.
Dari sudut pandang Islam, serangan fajar merupakan bentuk riyswah. Al-Gharyani berpendapat, risywah adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu secara rekayasa dengan membayarkan sejumlah uang. Dalam Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyah al Mu’aşirah, risywah adalah pemberian yang tidak benar untuk kepentingan tertentu atau untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Dalam konteks pemilihan umum, risywah dimaknai sebagai pemberian sesuatu berupa uang atau barang untuk memilih seseorang yang sejatinya tidak layak.
Larangan Risywah telah ditekankan oleh Rasulullah SAW,
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah SWT kepada pemberi suap dan penerima suap.” (Dari Abdullah bin ‘Amr, HR Ahmad).
Jadi jelas, baik dari segi hukum negara maupun hukum agama, serangan fajar adalah perbuatan yang tercela dan terlarang. Lalu bagaimana dengan ungkapan “ambil uangnya jangan pilih orangnya.”
Pada hakikatnya, uang dari hasil suap seperti serangan fajar adalah haram. Pernyataan “ambil uangnya jangan pilih orangnya.” justru akan memberikan peluang kepada pelaku politik uang untuk membenarkan tindakannya sehingga menjadi budaya di tengah masyarakat. Dengan mengambil uang walau tidak memilih yang bersangkutan justru akan lebih fatal sebab selain telah menerima uang risywah atau sogokan, juga merupakan tindakan munafik karena membohongi pihak pemberi sogokan.
Langkah yang lebih tepat adalah dengan tegas menolak berbagai bentuk politik uang seperti serangan fajar. Ketegasan ini akan memberikan penekanan kepada pemberi serangan fajar bahwa tindakan tersebut merupakan perbuatan yang tercela dan kotor. Selain itu pula, sikap tegas menolak serangan fajar sebagai penguatan bahwa kemerdekaan dalam memilih dan harga diri jauh lebih mahal dan penting dibanding dengan materi. Komitmen menolak serang fajar akan mendewasakan kehidupan demokrasi yang dapat melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas dan berintegritas.
Serangan fajar merupakan penyakit kronis sosial bagaikan penyakit kanker dalam dunia medis. Penyakit umat yang rumit disembuhkan. Dia mengacaukan tatanan sosial, merusak iklim demokrasi, menjungkir balikkan kebenaran. Disamping itu serangan fajar dalam pemilihan mengabaikan orang potensial dan berintegritas. Serangan fajar merupakan sinyal negatif bagi roda demokrasi. Apalagi jika sampai seperti menjadi budaya pada setiap penyelenggaraan pesta demokrasi.
Jangan pernah bermimpi mendapatkan pemimpin jujur dan amanah jika suara rakyat masih dapat dibeli dengan harga murah. Untuk itu, mari berpesta demokrasi dengan memilih berdasarkan akal jernih dan hati murni. (Wrd)