Scroll untuk baca artikel
Ladang Sastra

SEBAIKNYA MANUSIA PUNAH

Avatar photo
415
×

SEBAIKNYA MANUSIA PUNAH

Sebarkan artikel ini

Ia setuju manusia binasah. Tawanya akan meletus dasyat penuh dengan kemenangan jika hal itu terjadi. Setiap malam menjelang, bibirnya tunduk memanjatkan ribuan doa yang dilempar ke langit, mengharapkan keajaiban hadir. Ia inginkan malapetaka menghangusbumikan jantung juga hati manusia. Biarlah tak ada akal, izinkan hewan dan serangga yang menguasai dunia, maka perasaan tak akan memiliki arti. Sebab akal tak sadar, nafsu tak digiring setan. Semuanya akan mengalir sesuai yang alam inginkan. Satu saja! Cabut manusia sampai ke akar-akarnya! Agar dunia ini tak menangis sesenggukan setiap malam. Sementara manusia masih gila dengan bidadari liar di sudut-sudut kegelapan. Entah berjas, entah berandal!

Siapa yang peduli dengan seorang remaja di beranda Gereja? Ia menatap langit datar. Mengkhayalkan dapat duduk di pangkuan sang rembulan. Imajinasi berbicara pada ribuan gumintang. Angannya hendak berbaring di sisi mentari jika siang datang, agar dapat memberikan kehangatan yang selalu dirindukannya sepanjang malam. Ibu mabuk dengan pekerjaan. Ayah limbung akan kekuasaan. Surga di rumah tercinta mendadak menjadi neraka. Ia sendirian, jika pun berteman hanya dengan angin, atau bisunya sepi yang menjalar panjang. Menangis tak lagi menjadi hal yang menarik untuk menyambut kesedihan, ia terlalu bosan dengan alur hidup yang memuakkan. Maka, tak salah, jika ia menginginkan takdir manusia segera dilenyapkan. Termasuk Azizah, sahabat yang sudah tak lagi mau memedulikannya.

“Azizah, nanti sore mainlah ke rumahku, Ayah dan Ibu sedang tak ada di rumah, mereka sibuk dengan pekerjaan politiknya. Rumah menjadi sunyi, dan aku kesepian, tidak mungkinlah aku bermain-main dengan para pembantu di rumah, mereka juga sibuk mengurusi pekerjaan masing-masing,” ungkapnya pilu saat bertemu dengan Azizah suatu hari. Anak itu menggeleng iba.
“Maafkan aku, Chelsea, aku tidak bisa,”
“Kenapa? Kau bingung pulangnya? Tenang saja, aku banyak sopir yang akan mengantarkanmu sampai rumah, bahkan siap menjemputmu!” Ia berkata dengan wajah memohon.
“Ayah melarangku berteman denganmu,”
“Alasannya?” Ia tak mengerti dengan kalimat yang keluar dari bibir Azizah. Untuk
pertamakalinya ia ditolak mentah. Jiwanya terasa hancur berkeping-keping. “Aku tidak cacat. Aku baik hati. Kenapa ayahmu melarangmu bermain denganku?”“Emmmm….” desis Azizah tidak sanggup memberikan jawaban. “Katakan padanya, lakum dinukum waliyadin! Untukmu agamamu, dan untukku agamaku, itu pesan dari Ayahku.” Lanjutnya.

“Aku hanya kesepian Azizah, aku butuh teman, aku berjanji tak akan membuatmu susah, bagiku kau adalah sahabat yang paling asyik diajak berbicara, selama ini kita selalu bersosialisasi dengan baik, tak pernah ada masalah, namun mendadak kau membuat sesuatu yang manis menjadi pahit. Kenapa ayahmu melarang? Adakah yang salah denganku, Azizah?” “Ápakah selama ini kau tidak pernah melihat kabar di televisi mengenai ayahmu?”
Ia menggeleng. Azizah mengembuskan napas dalam. “Bukannya aku tidak mau bermain lagi denganmu, Chelsea,” tutur Azizah lembut. Ia gapai tangan Chelsea. “Tapi, ayahmu telah menyakiti perasaan ayahku, ia begitu kecewa kepada ayahmu, apa yang salah dengannya?”
“Aku tidak mengerti dengan apa yang kau maksud, Azizah!”’
“Maafkan aku, Chelsea. Kau akan segera mengerti jika sudah mengetahui semuanya. Bahkan jika kau menjadi Ayahku, kau akan melakukan tindakan yang sama, saudara-saudara, dan semua orang yang berada dalam agamaku sedang sangat terluka karena ucapan ayahmu yang seharusnya tak layak diucapkan oleh pemimpin negeri ini!” Kawan, kukatakan padamu, sejujurnya Chelsea mengerti, namun ia berpura-pura tak memahami. Ia menutup diri dari kebenaran ayahnya yang membuat batin banyak orang perih. Ia sempat mengikuti siaran berita sepanjang hari, tak pernah melewatkan, karena hanya dengan itu ia dapat menghapus rindu kelabu pada ayahnya. Sosok yang menjadi alasannya dilahirkan ke dunia, senantiasa tampil dalam chanel televisi. Dadanya setiap bulan dibuat sesak, jadwal bermain santai dengan keluarga sering digunakan untuk berselingkuh dengan dunia politik, waktu senggang, mendadak menjadi kesempatan manis untuk menyibukkan diri. Maka, sesaknya bertambah menjadi setelah menyaksikan berita baru tentang ayahnya. Ia bahkan malu menjadi anaknya. ‘Sungguh bukan pemimpin yang baik!’ Sebuah darah daging bahkan sanggup mengumpat, bagaimana dengan nyawa dalam jasad orang lain.

“Bapak Ibu nggak bisa pilih saya, karena dibohongin oleh surat al-maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak Ibu ya. Jadi kalau Ibu Bapak perasaan nggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya nggak papa. Karena ini kan hak pribadi Bapak Ibu, nggak usah ngerasa nggak enak, dalam hati nuraninya nggak bisa pilih saya!’ Itu adalah ucapan media masa, tutur berita apa adanya.

Ia bingung dengan laju pikir ayahnya. Sosok yang menjadi tulang punggungnya tak pantas untuk dibencinya. Ia menyadari akan hal tersebut, namun perasaan itu mengalir dengan sendiri. Berita mengungkapkan, bahwa ayahnya yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Ibu Kota, baru saja mengumpat sebuah ayat dari kitab suci yang diyakini oleh agama lain. Sementara sahabat yang selalu menemani hari sepinya di rumah memeluk agama yang diumpat oleh ayahnya. Siapa lagi jika bukan Azizah.

“Ayah, tak usah menjadi pemimpin! Tak usah mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin! Dan jangan pernah bermimpi menjadi pemimpin! Bukankah selama ini Ayah mengajari aku, Kak Robert, dan Adik Ling agar selalu menjadi orang berguna bagi yang lain? Bahkan Ayah mengajari kami bertoleransi terhadap sesama, kenapa justru Ayah yang membuat kami ragu dengan ajaranmu, Yah?” Katanya saat malam di meja makan. Ayah mengembuskan napas perlahan. Ibu menghentikan kunyahannya, jemarinya reflek meletakkan sendok dan garpunya. Robert mendelik tidak percaya. Ling melanjutkan kunyahannya. Suasana hening. Pembantu yang mengintip dari dapur, menjadi pendukung setia. Orang yang duduk di strata sosial paling bawah itu mendukung kebenaran. Baginya tuan mudanya menyuarakan kalimat yang tepat.
“Sayang, kau masih remaja. Kau belum memahami semua itu, suatu saat nanti kau akan mengerti. Ayah melakukan itu demi kebaikan umat manusia, ayah hendak mengabdi kepada bangsa dan negara.”

“Apakah dimulai dengan meremehkan ayat agama lain?” Robert menyambung. Ia sejalan dengan pemikiran adiknya. Pemuda yang duduk di bangku universitas lebih dapat dinalar alasannya. “Itu tidak masuk akal, Ayah! Semua teman-temanku membicarakanmu, Yah! Kau menodai makna toleransi dalam negeri ini!”

“Iya, Yah! Andaikan selama ini tidak ada pelajaran tentang kewarganegaraan di sekolah, aku tak akan pernah memprotesmu!” Chelsea menguatkan kalimat Robert.
“Tolelansi? Pelmen sepelti apa, Yah?” Ling menghentikan makan. Ia yang baru berumur empat tahun mulai tertarik dengan percakapan di meja makan. Ibu mengelus ubun Ling. Suasana menjadi mendadak menjadi tegang. Lauk-pauk hanya menjadi perekam percakapan panas. Nasi hendak menangis. Sendok juga piring-piring tak dapat berkutik. Kesemuanya pasrah di atas meja makan. Lampu yang menerangi ruangan pun tak sabar hendak melelapkan diri. Ia tidak menyukainya!

“Ingat Yah! Sejak kecil Ayah mengajari kami bertoleransi kepada orang lain, Ayah mendidik kami bagaimana cara bersopan santun, menghormati, dan menghargai orang lain! Lantas jika Ayah meremehkan ayat yang menjadi keyakinan dan tuntunan umat Islam, apakah Ayah sudah mencerminkan sikap baik kepada kami? Al-Quran adalah tuntunan mereka! Jangan seenaknya berkata seperti itu, Yah!” Robert tak mau kalah. “Maka jika suatu saat nanti kami, anak-anakmu menjadi pandai membuat keributan, jangan pernah menyalahkan kami, semuanya akan menurun pada generasi yang telah kau lahirkan, Ayah! Bahkan dampaknya akan meluas ke kolega kita!”

“Robert, kenapa kau justru membela orang lain?” Emosi Ibu tampak. Ayah diam tak sanggup menyangkal.
“Aku dipesani Azizah, Yah! Untukmu agamamu dan untukku agamaku!” Chelsea membanting sendok makan. “Gara-gara Ayah, aku dibenci banyak orang! Tak ada teman yang mau mendekatiku, padahal sebagian besar temanku adalah orang Islam, Ayah tahu sendiri negara ini penghuninya mayoritas Islam. Jika sampai menyinggung perasaan mereka. Mau jadi apa aku ini, Yah?”
“Di kampus, aku juga menjadi gunjingan banyak mahasiswa.”
“Ayah melakukan semua itu demi kebaikan banyak orang, ayah memikirkan kesejahteraan orang-orang!”
“Bukan hanya sebagian dari kita kan? Robert akan berusaha dengan tangan dan akal Robert untuk mencari kesejahteraan. Ayah tak usah lelah memikirkannya!”

“Semua umat manusia, Robert!” Ibu membantu Ayah berbicara. “Kau sudah besar, seharusnya kau mendukung ayahmu! Bukan orang lain, kau adalah darah dagingnya! Ingatlah, semakin tinggi apa yang kita capai semakin banyak pula cobaan yang akan kita lalui. Jadi bersabarlah, suatu saat nanti, teman-teman kalian akan meminta maaf dan menyadari kesalahannya! Ini adalah masalah kecil yang diperbesarkan, Anakku!” Kata Ibu coba meyakinkan.

“Jangan nodai kata-kata bijak itu, Bu! Ia adalah kata manis untuk para pejuang, tak pantas digunakan untuk mendukung PECUNDANG!”

‘PLAK!’ Tiba-tiba Ayah bangkit. Ling menangis. Pembantu melonjak girang. Tamparan mendarat tragis di pipi Robert. Chelsea tersentak. Ia tak menyangka akan ada serangan ganas dari Ayah yang dicintainya, meski perasaan di waktu itu sedang membencinya. Ia berdiri, menggebrak meja. “Bagaimana aku bisa mendukung, jika yang seharusnya didukung tak dapat memberikan contoh baik?” Katanya tegas.

“Untuk masalah sepele seperti ini saja kau marah, Yah! Bagaimana dengan masalah yang menyangkut umat Islam di dunia! Bayangkan perasaan mereka, dan pikirkan dampaknya!”

“Robert! Kau tidak kuliah dalam dunia politik dan hukum, kau tidak mengerti. Dalami saja di kampusmu, aku ingin kau menjadi dokter, bukan juru bicara!” Hardik Ayah.

“Yah, jika memang seperti itu, Ayah seharusnya lebih tahu bagaimana menyikapi politik dan hukum di negara ini! Juga Ayah seharusnya tahu bahwa bicara sembarangan dapat menimbulkan tuntutan hukum yang besar!”
“Aku setuju dengan apa yang dikatakan Kak Robert!”

“Bahkan Chelsea yang lebih muda dariku tahu, bagaimana denganmu, Yah? Kau seharusnya memberikan contoh yang baik!” Robert masih mempertahankan kalimatnya.
‘Plak!’ Tamparan ke dua mendarat.

“Aku makan malam di luar!” Robert menendang kursi. Ia lempar sendok makan. Pipinya merah. Ayah tak sanggup berbuat apa-apa. Ia seperti menyesali perbuatannya. Kalimat Robert membuat batinnya disulut api neraka.
“Aku mau ke gereja, Yah! Berdoa agar semua manusia di dunia ini binasah. Sehingga tak akan ada lagi yang mabuk dengan kekuasaan!”

“JAGA MULUTMU!” Urat lehernya menegang. Matanya memerah. Ling dan Robert tak mempedulikan.
Prang! Satu gelas dilempar ke lantai.
***
Airmatanya terus tumpah. Lima jam ia duduk di beranda gereja. Lima jam pula ia memohon. Pukul menunjukkan angka satu pagi, matanya tetap terjaga. Ia masih sendirian di gereja, memandang langit yang tengah berduka. Kabut merajai malam, menyempurnakan perasaan getir yang mengelam. Ia lukis paras gadis manis di kanvas langit, membayangkan kepalanya sedang rebah di bahunya. “Azizah, aku ingin kau datang! Temanilah aku menangis malam ini.” Katanya yang tak dianggap berarti oleh embusan angin.
***

02 November 2016.
Penulis :
Titin Widyawati. Gadis yang dilahirkan pada tanggal 16 Juli 1995 ini amat menyukai pesona alam. Waktu senggangnya dihabiskan untuk melamun.