Kabar mengenai dugaan perselingkuhan yang melibatkan seorang dokter berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan seorang sukwan di salah satu Puskesmas di Kabupaten Sumenep baru-baru ini menyita perhatian publik.
Reaksi tegas dari Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo—yang berkomitmen menindak pelanggar disiplin dan etika dengan sanksi terberat seperti pemberhentian—menunjukkan betapa seriusnya kasus pelanggaran moral, terutama yang dilakukan oleh aparatur negara.
Dalam konteks Islam, khususnya pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), perselingkuhan tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran etika kepegawaian, tetapi sebagai dosa besar (kabirah) yang merusak sendi-sendi kehidupan berumah tangga, bermasyarakat, dan bahkan mencoreng citra kepemimpinan.
Zina dan Perselingkuhan: Dosa Besar yang Diharamkan
Dalam terminologi syariat Islam, perselingkuhan yang melibatkan hubungan badan antara orang yang sudah menikah dengan orang lain disebut zina muhsan.
Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat bahwa perbuatan zina, apalagi bagi yang sudah berkeluarga, termasuk dosa yang sangat keji dan dibenci Allah Swt.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Ayat ini tidak hanya melarang zina itu sendiri, tetapi juga segala perbuatan yang mendekatkan kepada zina, termasuk pergaulan bebas, pandangan yang tidak terjaga, dan interaksi yang melanggar batas syariat.
Perselingkuhan, yang merupakan manifestasi dari mendekati dan jatuh dalam perbuatan zina, secara tegas diharamkan karena merusak tujuan utama pernikahan dalam Islam, yaitu mencapai sakinah, mawaddah, wa rahmah (ketenangan, cinta, dan kasih sayang).
Sikap Aswaja terhadap Pelaku Perselingkuhan (Zina Muhsan)
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah menempatkan perlindungan terhadap keturunan, kehormatan, dan harta sebagai bagian dari lima prinsip pokok (al-Kulliyat al-Khams). Perselingkuhan jelas-jelas merusak kehormatan (hifz al-‘ird) dan keturunan (hifz an-nasl).
1. Aspek Hukum (Syariah)
Dalam pandangan fikih Aswaja, khususnya mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), bagi pelaku zina yang sudah menikah (muhsan), hukuman yang ditetapkan adalah rajam (dilempari batu sampai meninggal).
Hukuman ini, yang merupakan had (hukuman tetap dari Allah), berfungsi sebagai pembersih dosa di dunia jika dilakukan di bawah naungan pemerintahan Islam.
2. Aspek Etika dan Tanggung Jawab Sosial
Kasus di Sumenep menunjukkan bahwa pelaku perselingkuhan adalah aparatur negara, yang seharusnya menjadi teladan (uswah hasanah). Bupati Achmad Fauzi Wongsojudo benar ketika menyatakan bahwa perbuatan semacam itu:
- Mencederai citra institusi: Pelayanan publik, terutama di bidang kesehatan, menuntut integritas moral yang tinggi.
- Merugikan rekan sejawat: Perilaku buruk satu oknum dapat merusak kepercayaan publik terhadap seluruh aparatur.
- Merusak diri dan keluarga: Perselingkuhan membawa kehancuran psikologis, sosial, dan ekonomi bagi keluarga inti, termasuk anak-anak.
Dalam Islam, aparatur pemerintah (termasuk ASN/PPPK) memegang amanah dari rakyat dan dari Allah Swt. Pelanggaran etika dan moral yang terang-terangan menunjukkan ketidakmampuan memegang amanah.
Oleh karena itu, sanksi tegas seperti pemberhentian (pemutusan hubungan kerja) yang dipertimbangkan oleh Bupati Sumenep adalah tindakan yang sejalan dengan prinsip siyasah syar’iyyah (kebijakan negara yang berdasarkan syariat), yaitu menegakkan disiplin untuk kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah) dan mencegah kerusakan (dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih).
Pencegahan dan Penguatan Nilai-Nilai Islam
Daripada menghukum, Ahlussunnah wal Jama’ah lebih menekankan aspek pencegahan (saddu adz-dzara’i). Pemerintah daerah, dalam hal ini, perlu memperkuat pembinaan mental dan spiritual bagi seluruh aparatur.
- Penguatan Keimanan: Mendorong aparatur untuk selalu mengingat pengawasan Allah (muraqabah) dalam setiap tindakan.
- Menjaga Batasan Interaksi: Menerapkan aturan yang ketat mengenai interaksi lawan jenis di tempat kerja untuk menghindari khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan non-mahram), yang sering menjadi pintu gerbang menuju perselingkuhan.
- Teladan Kepemimpinan: Pernyataan tegas Bupati Sumenep harus didukung dengan tindakan nyata tanpa pandang bulu, menegaskan bahwa integritas moral adalah syarat mutlak bagi pelayan publik.
Kasus perselingkuhan ini menjadi pengingat bagi seluruh Muslim, khususnya mereka yang memegang amanah publik: Jagalah kehormatan diri dan keluarga, karena itu adalah manifestasi dari ketakwaan.
Sanksi duniawi dari pemerintah adalah konsekuensi logis untuk menjaga marwah (kehormatan) institusi, sementara sanksi akhirat jauh lebih berat bagi mereka yang tidak bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuha).
Sudah seharusnya, seperti pesan Bupati Achmad Fauzi Wongsojudo, aparatur sipil negara harus menjadi teladan, bukan justru melakukan pelanggaran yang merusak diri sendiri, keluarga, dan citra pemerintahan yang seharusnya menjunjung tinggi moralitas Islam.
[dbs/gim]

















