Lagi-lagi tersandung kasus korupsi. Sepertinya itulah yang menjadi penyakit kronis yang diidap banyak para pejabat negeri ini. Meskipun sejumlah kasus dugaan korupsi yang cukup besar berhasil dibongkar dan pelakunya dijebloskan ke penjara, namun hal itu ternyata tidak juga membuat pejabat negeri ini kapok. Justru malah makin menggila.
Lihat saja, mulai dari kasus korupsi mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo hingga penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang telah menggegerkan dunia penegakan hukum di Tanah Air. Terakhir adalah penetapan status tersangka pada ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) soal kasus dugaan korupsi terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA). Hadi dijerat dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004.
Ironis memang. Disaat masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, pejabat bermental rampok justru terus memperkaya diri dengan uang yang diraihnya dengan cara-cara haram. Artinya, virus korupsi hampir terjadi di semua lembaga negara di Indonesia. Tak bisa dipungkiri, saat ini KPK bisa jadi hanya satu-satunya harapan dalam pemberantasan korupsi. Gebrakan lembaga pimpinan Abraham Samad itu pun patut diapresiasi. Meski begitu, seberapa besar peran KPK dalam pemberantasan korupsi tetap tidak bisa mengungkap seluruh kasus korupsi yang telah membudaya di Indonesia.
Keterbatasan sumber daya manusia yang ada di KPK menjadi kendala utama lembaga ini. Belum lagi betapa dahsyatnya perlawanan para pelaku korupsi dalam upaya melumpuhkan KPK. Di sisi lain, bagi sebagian kalangan KPK dinilai masih pandang bulu. Contohnya, saat KPK menangani kasus hukum yang dekat dengan kekuasaan, seperti kasus Century dan Hambalang. KPK terkesan lambat dan ‘takut’. Sementara, KPK begitu tegas mengungkap kasus korupsi mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Oleh karena itu, KPK tak mungkin dibiarkan ‘berjuang’ sendirian.
Perlu partner yang lebih berani dan cepat dalam membongkar berbagai kasus korupsi yang terjadi tanpa ada ‘pertimbangan ini dan itu’. Peran aparat hukum lain, seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) seharusnya turut mengambil peran KPK dalam memberantas korupsi. Dengan segala sumber daya manusia dan infrastruktur yang telah dimiliki di seluruh Indonesia, Polri dan Kejagung seharusnya mampu menjangkau lebih banyak dibandingkan KPK. Dengan catatan, harus ada kesungguhan dari pimpinan Polri dan Kejagung untuk memberikan sumbangsih nyata bagi majunya negeri ini yang bebas korupsi.
Sebab, rakyat yang telah membayar pajak dan gaji mereka tentu menuntut kinerja nyata agar korupsi dari bangsa ini benar-benar hilang. Maka tak aneh bila banyak rakyat Indonesia yang meminta agar pelaku korupsi dihukum mati. Hal itu sangat wajar. Pasalnya, masih banyak warga yang kelaparan atau kekurangan gizi karena tak punya uang untuk makan. Banyak warga yang meregang nyawa karena tak bisa berobat atau mendapatkan pelayananan kesehatan yang layak. Di sisi lain, pejabat yang diberi amanat mensejahterakan rakyat justru mandi uang dan tak peduli dengan penderitaan warga miskin.
Tetapi, sekeras apapun langkah yang diambil KPK maupun lembaga hukum lainnya tentu tidak akan berpengaruh jika para pejabat tetap tidak bisa atau bahkan tidak mau merubah mental perilaku korupsi. Harus ada kesadaran dari dalam diri sendiri agar tidak melakukan aksi tercela itu. Pejabat dan pemimpin harus sensitif dan pintar merasakan apa yang menjadi penderitaan rakyatnya, terutama mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan begitu, cita-cita negara Indonesia menjadi negara yang aman, makmur, sejahtera dan bebas dari korupsi benar-benar dapat terwujud.(***)
(Harian Terbit)