Scroll untuk baca artikel


 


Hot Expose

Exposiana: Asinnya Garam, Pahitnya Petani

287
×

Exposiana: Asinnya Garam, Pahitnya Petani

Sebarkan artikel ini
Ist.Petani Garam Desa Karang Anyar, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Foto diambil pada hari Sabtu sore 28 Nopember 2015. [Ferry Arbania/Maduraexpose.com]

“TANAH ini milik rakyat.” Tulisan itu mencolok di papan yang terpancang tegar di pintu masuk kawasan lahan pegaraman di daerah Karanganyar, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep (Madura). Di samping papan itu terbentang poster, “Pegawai PT Garam dilarang masuk, polisi dan TNI jangan mau disogok.”

Itulah cara masyarakat Karanganyar dan Pinggirpapas melakukan reclaiming atas lahan pegaraman sekitar 4.000 hektar yang kini dikuasai PT Garam (Persero). Lebih kurang 3.000 jiwa masyarakat yang melakukan reclaiming itu tergabung dalam kelompok Tanah Leluhur.

Dasar reclaiming-nya adalah seharusnya tanah itu dikembalikan kepada rakyat tanggal 7 Agustus 1986.

Alkisah, pada tanggal 3 Agustus 1936, klebun atau kepala desa dua desa itu masing-masing Sastro Wijoyo dan Sastro Sudirso menyerahkan lahan itu kepada Bupati Sumenep Kanjeng Raden Samadikun. Jika sudah 50 tahun akan dikembalikan ke petani. “Bukti yang kami miliki itu sah. Sudah menjadi keharusan kalau kami menuntut hak tanah warisan leluhur itu,” kata Masrawi, tokoh petani Pinggirpapas.

Pada tahun 1986, masyarakat sudah mulai menggunjingkan secara lirih-lirih. Tetapi tidak ada yang berani terang-terangan karena masih kuatnya represi rezim saat itu. Apalagi untuk melakukan protes secara terbuka, risikonya terlalu besar. Pengalaman sudah mencatat, harus masuk tahanan, diintimidasi, diteror. Akan dengan mudah mendapat stigma sebagai PKI atau antipembangunan, antipemerintah. Merupakan tipikal Orde Baru, setiap suara rakyat atas keadilan dan kebenaran dipersepsi sebagai bentuk perlawanan dan pemberontakan terhadap negara.