SURABAYA (MADURA EXPOSE)–Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menyatakan, bahwa terdakwa Sitrul Arsyih Musa’ie, mantan Direktur Utama PT Wira Usaha Sumekar (PT WUS) terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dana Participasing Interest pada tahun 2011 – 2015 lalu, dan divonis pida penjara selama 1 tahun.
Hal itu diucapkan Majelis Hakim yang dietuai H.R. Unggul Warso Mukti, pada persidangan dengan agenda pembacaan putusan (Vonis), pada Jumat, 27 April 2018.
Anehnya, hingga perkara ini berakhir dengan pembacaan surat putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, dan berakhirnya tugas Maruli Hutagalung selaku selaku Kepala Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur sejak Desember 2015 lalu karena pensiun, Achmad Fauzi selaku Kepala perwakilan PT WUS di Jakarta yang saat ini menjabat Wakil Bupati sejak tahun 2015 lalu tak tersentuh hukum.
Terdakwa Sitrul Arsyih Musa’ie, mantan Direktur Utama PT Wira Usaha Sumekar (PT WUS), salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Sumenep, Madura Jawa Timur ini, terseret bersama Taufadi (perkara terpisah dan masih proses sidang) selaku Kepala Divisi Keuangan dan Administrasi PT WUS yang saat ini menjabat sebagai Komisiaris PT Garam Indonesia (Persero), dalam kasus Korupsi dana Participasing Interest (PI) pengelolaan minyak dan gas yang diterima PT WUS sebesar 10 persen dari PSC (Production Sharing Contract) Santos Blok Madura Offshore pada tahun 2011 – 2015 sebesar Rp 4.435.290.317,58 dan USD 203.630,05.
Sementara Achmad Fauzi sebagai Kepala perwakilan PT WUS di Jakarta yang saat ini menjabat Wakil Bupati Sumenep sejak tahun 2015, yang turut menandatangani dokumen pembukaan rekening serta pencairan uang dalam bentuk rupiah maupun Dollar USA dari Bank Mandiri atas naman PT WUS tapi tak tersentuh hukum, karna Kejaksaan Tinggi – Jawa Tumur “tak berani menyeretnya” kepersidangan sekalipun hanya sebagai saksi, bahkan dianggap “melecehkan” persidangan karena dipanggil 3 kakli namun tak menghiraukannya.
Masyarakat mungkin masih mengingat jelas, saat Boediono sebagai Wakil Presiden RI pada tahun 2014, bersedia hadir sebagai saksi dipersidangan pada tanggal 9 Mei 2014 dalam kasus Korupsi BLBI yang ditangani oleh KPK, dimana Boediono menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia.
Pada hal, sebagai Wakil Presiden yang juga Wakil Kepala Negara dan Wakil Kepala Pemerintahan Negara Repubulik Indonesia, bisa saja Boediono tidak menghadiri perisidangan dengan berbagai alasan tugas kenegaraan, namun tidak dilakukannya. Karena menurutnya, semua penduduk Indonsia sama diamata hukum dan patuh terhadap hukum diamana Indonesia adalah negara hukum.
Sementara dalam persidangan, Majelis Hakim menyatakan bahwa slip penarikan uang dari rekening Bank Mandiri kantor cabang pembantu ITC Permata Hijau Jakarta, ditandatangani oleh terdakwa Sitrul Arsyih Musa’ie bersama Ahmad Fauzi. Sedangkan slip penarikan dana yang berasal dari BPRS Bhakti Sumekar, ditandatangani oleh terdakwa bersama Taufadi, untuk bisnis jual beli tanah dengan H. Sugianto. Dan penarikan uang dilakukan beberapakali oleh terdakwa baik dari rekening valas Dollar Amerika Serikat maupun dalam bentuk rupiah untuk jual beli tanah sejak tahun 2012 hingga 2015.
Dalam fakta persidangan, JPU menunjukkan bukti berupa aplikasi setoran pengiriman oleh Achmad Fauzi ke rekening Bank Mandiri Nomor 102-00-0667766-7 atas nama PT Wira Usaha Sumekar sebesar Rp 56 juta, yang menurut Achmad Fauzi, bahwa uang tersebut berasal dari Aryadi Subandrio. Selain itu, pengiriman uang sebesar US 5000 Dollar tanggal 12 Oktober 2011 dari Dian Nirmala selaku Sekretaris Direktur Utama PT GMA MI yaitu Aryadi Subandrio ke rekening valas kurs Dollar Bank Mandiri Nomor 102-000-573733-0 atas nama PT Wira Usaha Sumekar, dan pengiriman uang sebesar US 1000 Dollar yang juga atas nama Dian Nirmala ke rekening valas Bank Mandiri Nomor 102-000-573733-0 atas nama PT WUS pada tanggal 14 Oktober 2011
Atas perbuatan terdakwa Sitrul Arsyih Musa’ie, kata Majelis Hakim dalam amar putusannya, bersama-sama dengan Taufadi telah merugikan keuangan negara sebesar US 203.630,05 Dollar AS atau setara dengan nilai rupiah Rp 2.647.190.650 sen, dan Rp 4.435.290.317,58 sebagaimana hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian negara atas dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam penerimaan dan pengolahan dan PI tahun 2011 hingga 2015 pada PT WUS Nomor SR1096/PW13/5/2017 tanggal 19 Desember 2017. Dengan demikian unsur merugikan negara atau perekonomian negara terpenuhi.
Majelis Hakim menyatakan, bahwa kerugian negara yang dimaksud telah dititipkan oleh terdakwa kepada JPU, yaitu pada tanggal 18 desember 2016 sebesar Rp 1.12 8.86.417,58; pada tanggal 5 Oktober 2016 sebesar USD 167 ribu dan USD; pada tanggal 8 Desember 2016 sebesar Rp 10 juta; pada tanggal 16 Maret 2017 sejumlah Rp 20 juta; pada tanggal 21 Maret 2017 senilai Rp 476 juta; pada tanggal 5 Mei 2017 sebesar Rp 510.658.500; pada tanggal 27 Desember 2017 sejumlah Rp 2.289.765.400 dan USD 35.969,05.
Namun Majelis Hakim tetap menyatakan, bahwa perbuatan terdakwa Sitrul Arsyih Musa’ie terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 3 juncto pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Atas perbuatan terdakwa, Majelis Hakim pun menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dari tuntutan JPU Kejati Jatim, yakni 1 tahun dan 6 bulan.
“Mengadili; Menyaatakan bahwa terdakwa Sitrul Arsyih Musa’ie terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan subsider; Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 50 juta; Bilamana denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 2 bulan,” ucap Ketua Majelis Hakim.
Usai membacakan putusan, Ketua Majelis Hakim memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk menanggapi, apakah menerima, banding atau pikir-pikir.
“Saudara punya hak, apakah menerima, banding atau pikir – pikir. Saudara punya waktu selama 7 hari,” perintah Ketua Majelis Hakim. Yang kemudian dijawab oleh terdakwa mapun JPU Rhein masih pikir – pikir.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang diterima Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep, terkait adanya dugaan penyalah gunaan dana Participasing Interest (PI) pengelolaan minyak dan gas oleh PT WUS pada tahun 2011 hingga 2015 lalu.
Selain itu, hasi audit BPK menemukan adanya sejumlah duit yang diduga tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh PT WUS. Kemudian, penyidik Kejari Sumenep melakukan penyelidikan dan penyidikan serta penggeledahan di PT PWUS pada Juli 2017.
Dari hasil penggeledahan itu, penyidik Kejari Sumenep menyita 3 unit CPU dan beberapa berkas lainnya. Kemudian kasus ini pun “berpindah” ke Kejati Jatim dibawah kendali Maruli Hutagalung selaku Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Didik Farkhan sebagai Aspidsus Kejati jatim.
Tak lama kemudian, penyidik Kejati Jatim pun akhirnya menetapkan 2 tersangka, yakni Sitrul Arsyih Musa’ie mantan Direktur Utama PT Wira Usaha Sumekar dan Taufadi, mantan Kepala Divisi Keuangan dan Administrasi PT WUS yang saat ini menjabat sebagai Komisiaris PT Garam Indonesia (Persero).
Taufadi ditetapkan sebagai tersangka terlebih dahulu pada Senin, 4 Desember 2017, tim penyidik Kejati Jatim menemukan adanya bukti aliran dana PI sebesar Rp 510.658.500 yang tak dapat dipertanggung jawabkan Taufadi saat menjabat sebagai Kepala Divisi Keuangan dan Administrasi PT WUS pada tahun 2012 – 2015.
Atas perbuatannya, Sitrul Arsyih Musa’ie dan Taufadi pun dijerat dengan pasal pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
(Redaksi).
#Kata Bijak Hari Ini
“The highest possible stage in moral culture is when we recognize that we ought to control our thoughts.”
“Tahap tertinggi dalam budaya moral adalah ketika kita menyadari bahwa kita seharusnya mengendalikan pikiran kita.”
(Charles Darwin)