Sepekan ini berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta menyampaikan berbagai pernyataan.
Semua suara dari perguruan tinggi mengkritik berbagai langkah Presiden Jokowi dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Ada sekitar 29 perguruan tinggi bersuara kritis. Jumlah itu kemungkinan akan terus bertambah.
Suara mengingatkan tampaknya akan terus bergulir seperti bola salju, yang makin lama berpotensi membesar.
Semua pernyataan bernada mengingatkan agar Jokowi kembali ke jalan yang benar. Mengedepankan jiwa kenegarawanan.
Sayangnya respon Istana melalui juru bicaranya Ari Dwipayana bersikap konfrontatif menuduh berbagai pernyataan dari perguruan tinggi sebagai partisan.
Ari Dwipayana menuding berbagai pernyataan dari para guru besar, para akademisi, sebagai mewakili kepentingan pasangan tertentu.
Jelas, tudingan itu tidak berdasar. Sebagaimana dibantah oleh seorang guru besar dari UGM, apa yang disampaikan semuanya mengingatkan agar Jokowi berhati-hati.
Mereka, para akademisi khawatir sikap Jokowi dapat memicu konflik horizontal.
Sebenarnya, jauh sebelum merebak suara dari perguruan tinggi, banyak kalangan mengingatkan situasi yang berkembang pasca keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 tahun 2023.
Beberapa guru besar menyampaikan kritik tajam terhadap keputusan MK, yang terbukti belakangan cacat secara etika.
Mereka yang berpikir rasional dan objektif memberikan masukan agar keputusan MK tidak dijadikan titik tolak untuk men-Cawapres-kan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi.
Alasannya, di samping keputusan MK merupakan produk pelanggaran etika, tampilnya Gibran jelas mengindikasikan nepotisme.
Tidak ada di dunia ini, seorang yang sedang menjabat sebagai presiden, anaknya mencalonkan diri sebagai Cawapres.
Pencalonan anak presiden berpotensi akan terjadi ketidaknetralan. Sudah pasti seorang bapak akan membela anaknya.
Belakangan memang terbukti bagaimana sikap Jokowi. Bahkan secara terbuka beliau mengatakan bahwa Presiden boleh berpihak dengan berpijak dari UU.
Sayangnya, pijakan UU yang disebut dan dikutip Jokowi tidak secara utuh dan hanya sebagian. Kondisi yang makin mengkhawatirkan itulah yang disampaikan dan diingatkan civitas akademika.
Para pendidik dari kampus, mengkhawatirkan munculnya konflik horizontal karena ketidaknetralan presiden dan beberapa orang menteri. Situasi memang tidak kondusif. Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Jika para penghuni istana bersikap arif dan mengedepankan kepentingan bangsa, berbagai masukan penjaga moral bangsa seharusnya direspon legawa. Paling tidak dengan memberikan apresiasi agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Kita tentu tak ingin peristiwa pahit 1998, yang menjadi jejak buram perjalanan negeri ini terulang.
Sebuah momen yang membuat rakyat Indonesia menderita, bahkan telah jatuh korban nyawa cukup besar.
Peringatan para akademisi sepenuhnya menggambarkan kekhawatiran agar peristiwa pahit penuh tragedi pada 1998 tidak terulang kembali.
Apa yang terjadi belakangan ini, seperti peringatan para akademisi, seakan mengulang saat-saat menjelang kerusuhan 1998.
Karena itu layak berbagai pernyataan para inspirator dan pembawa energi moral bangsa dari berbagai perguruan tinggi disikapi secara arif dan bijaksana. Kita tentu tak ingin peristiwa mengerikan 1998 terulang kembali. Semoga. ***