MADURAEXPOSE.com,YOGYAKARTA – Ketua Umum Kiai Muda Indonesia Gus Wahyu NH Aly mengaku prihatin dengan dinamika politik dan sosial di Ibu Kota, yang menurutnya hingga menyeret sejumlah ulama besar dalam pusara tanpa akhlak hingga kebencian, seperti cacian yang ditujukan kepada ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj, KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), sampai KH. Makruf Amin. Ia melihat, masyarakat dewasa ini banyak yang terjangkit penyakit latah, mudah mengeluarkan unek-unek tanpa dipikir terlebih dahulu, tanpa dianalisis, dan tanpa tabayun.
“Penyakit mental yang ramai ditengah masyarakat dewasa ini, itu penyakit latah. Akibat latah, bisa terperosok pada kebiasaan bergosip dan bahkan bisa terperosok kebiasaan melakukan fitnah. Jika ini dibiasakan, pikiran dan hati menjadi mati. Saya percaya, ini kebiasaan bukan kalangan santri. Jika santri, karena kebiasaan mengajinya mendalam, kebiasaan mendengarkan dengan baik, dan kebiasaan cek dan ricek ketika mendapat informasi, santri tidak akan terjangkit pernyakit latah,” tegasnya saat mengisi kajian shubuh kitab Alhikam, Sabtu pagi (26 November 2016) di Yogyakarta.
Pada kesempatan tersebut, cucu KH. Abdullah Siradj Aly ini juga menyoroti tentang rencana Aksi Damai jilid III di Ibu Kota tentang sholat Jumat di jalan. Menurutnya, dinamika wacana sholat Jumat yang rencananya akan digelar tersebut, pada sisi tertentu telah merubah cara berfikir masyarakat tertentu, seperti kalangan yang tadinya mengklaim fundamentalis kemudian merubah cara berfikirnya menjadi penganut paham liberal.
“Sholat Jumat di jalan itu tidak sah. Saya gak pakai ilmu yang berat, pakai ilmu yang ringan-ringan saja yang tinggal baca saja di kitab. Misal di kitab Fathul Muin ini. Di kitab Ianatut Tholibin juga silahkan baca sendiri. Saya lihat dari argumen yang membolehkan sholat Jumat di Jalan, itu seperti cara berfikirnya orang liberal. Mungkin mereka menganut paham liberal, ya itu pilihan mereka. Tapi dilihat dampak aksi sholat Jumat di jalan yang memungkinkan merugikan banyak orang seperti pengguna jalan, mungkin mereka penganut paham liberal ekstrim, dan ini saya kira lain soal,” tegasnya.
Pakar ushul fiqh ini mengaku terkejut sholat Jumat di jalan. Ia pun menegaskan, jika sholat Jumat di Jalan dibiasakan, dinilainya ke depan masjid bisa menjadi sepi. Kedepan, menurutnya bisa saja sarana publik akan digunakan untuk kepentingan golongan tertentu bahkan pribadi, sebagai upaya menghalalkan segala cara.
“Sholat Jumat dengan sholat Id (red-Idhul Adha dan Idhul Fitri) itu ada perberbedaannya. Termasuk dalam syarat dan rukunnya, jadi jangan disamakan. Kalau sampai terjadi sholat Jumat di jalan, khutbahnya di jalan, imamnya di jalan, ke depan masjid bisa kosong. Sekarang saja masjid semakin menurun jamaahnya, meskipun jumlah umat Islamnya meningkat,” paparnya.
Selain itu, ulama muda yang dikenal produktif menorehkan karya buku ini berharap agar masyarakat yang rencananya akan mengikuti aksi sholat Jumat di jalan, agar melaksanakan sholat Jumatnya di masjid. Ia pun menghimbau, bagi mustautin (masyarakat asli yang rencananya di sekitar lokasi yang rencananya untuk Aksi Demo III) dan muqimin (orang luar yang tinggal cukup lama di lokasi yang rencananya untuk Aksi Demo III) agar sholat Jumat di masjid terdekat. Bagi musafir, ia berharap apakah mau menjalankan sholat dzuhur ataukah ingin ikut mendirikan sholat Jumat, agar mencari masjid yang masih bisa menampung.
“Saya berharap, yang mustauthin dan muqimin, silahkan sholat Jumat di masjid yang biasanya ikut. Yang musafir, silahkan cari masjid yang masih bisa menampung, gak ikut sholat Jumat gak dosa, bisa sholat dzuhur. Jangan tujuannya ibadah, tapi melakukan perbuatan dzolim pada pengguna jalan. Ilmunya dipakai, nuraninya dipakai, jangan cuma semaunya sendiri, ngotot egonya sendiri,” pungkasnya. [Hakim]