MADURA EXPOSE–Warga Nahdlatul Ulama (NU) terus menyerang KH Said Aqil Siraj karena dianggap membela paham Syiah. Bahkan pidato Said Aqil yang membela Syiah dan menganggap warga NU bodoh karena tak bisa menerima paham Syiah yang tersebar di You Tube juga menjadi perhatian serius para kiai NU di mana-mana.
Namun Said Aqil terus mengelak meski banyak sekali ceramah-ceramahnya yang terekam. Ia malah menuding bahwa hubungan PBNU-Iran justeru terjadai saat KH Hasyim Muzadi jadi ketua umum PBNU. “Dia menyebut nama saya dalam seminar di Sidogiri,” kata Kiai Hasyim Muzadi kepada bangsaonline.com, Selasa (26/1/2016).
Belum lama ini Said Aqil memang ceramah dalam Seminar bertema “Solusi Dinamika Islam Kekinian di Indonesia dan Dunia” di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur. Dalam seminar itu salah seorang peserta menanyakan tentang ke-Sy’iah-an Said Aqil yang terus heboh di NU. Saat itulah Said Aqil menuding bahwa hubungan NU-Iran itu terjadi saat Kiai Hasyim Muzadi mimpin NU. Pernyataan Said Aqil ini bukan kali pertama. Sebelumnya kepada wartawan juga pernah mengungkapkan hal yang sama.
Kiai Hasyim Muzadi merasa bahwa dirinya telah dijadikan kambing hitam oleh Said Aqil. Sebab dirinya tak pernah sekalipun mengirim atau merekomendasikan mahasiswa Indonesia belajar di Iran.
(Baca: KH Cholil Nafis: Said Aqil Kerjasama dengan Kampus Syiah di Iran)
Ia lalu menceritakan kronologi peristiwa yang dituduhkan Said Aqil. ”Ketika saya di Teheran ada tiga anak Indonesia yang sudah dua tahun kuliah di Qom Iran menemui saya. Mereka saya ajak pulang ke Indonesia dan saya tawari tiket. Kata saya di Indonesia kan banyak sekolah yang baik kok sekolah di Qom. Tapi mereka tak mau,” jelas Kiai Hasyim.
Karena menolak pulang ke Indonesia akhirnya Kiai Hasyim Muzadi menyarankan agar mereka pindah kuliah ke Teheran. ”Saya minta mereka pindah ke sekolah umum saja di Teheran,” kata Kiai Hasyim. Karena, kata Kiai Hasyim, kalau mereka tetap kuliah di Qom aqidah mereka bisa berubah Syiah mengingat kota Qom adalah pusat pendidikan Syiah. ”Yang dua orang mau pindah ke Teheran, sedang yang satu tak mau,” kata Kiai Hasyim Muzadi. ”Jadi saya tak pernah memberi rekomendasi kepada siapapun untuk sekolah di Iran,” tegasnya.
Kiai Hasyim Muzadi juga menjelaskan posisinya sebagai sekjen International Conference of Islamic Scholar (ICIS). Menurut dia, hubungan ICIS dengan Iran sama sekali bukan berarti hubungan ICIS dengan ideologi Syiah. ”Peserta konferensi internasional yang diselenggarakan ICIS sebanyak empat kali mempunyai anggota peserta 67 negara, termasuk Iran. Jadi Iran hanya salah satu dari 67 negara yang hadir pada kegiatan ICIS,” katanya.
Ia menegaskan, ICIS pernah membela Iran dalam hak proyek nuklirnya ke dunia internasional dan pandangan ICIS ini didukung pemerintah Indonesia. ICIS juga menyokong gerakan perlawanan terhadap Israel di perbatasan Lebanon Selatan yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah.
Hasil dukungan terhadap proyek nuklir Iran, sekarang embargo dari Barat sudah dicabut. Sedangkan sokongan ICIS terhadap perjuangan perlawanan terhadap Israel yaitu bersama sama dengan kontingen pasukan garuda yang berjaga-jaga di perbatasan Lebanon Selatan.
”Saya sendiri (A. Hasyim Muzadi) sampai saat ini masih menjadi pengurus Rabithah ‘Alam Islami yang berpusat di Mekkah. Sedangkan saya juga melakukan konsolidasi gerakan moderat Islam (Sunni) di kawasan ASEAN misalnya: Thailand, Malaysia dan Brunei Darussalam,” kata Kiai Hasyim.
Menurut dia, Malaysia dan Brunei Darussalam termasuk negara yang melarang pengembangan paham syiah, karena menurut negara tersebut kalau Syiah menjadi besar dan sebanding besarnya dengan Ahlussunnah wal jamaah bisa terjadi konflik terbuka di kalangan masyarakat, seperti juga yang terjadi pertikaian di Timur Tengah. ”Hal tersebut yang dilakukan oleh Malayasia dan Brunei Darussalam sama dengan yang dilakukan oleh Sudan dan beberapa Negara Timur Tengah,” katanya.
Ia mengaku tidak pernah bersedia dan menyutujui ajakan Syiah untuk bekerjasama dengan Indonesia dalam bidang pendidikan dan haji, karena hal tersebut akan menjadikan kegoncangan umat Islam sunni di Indonesia.
Dengan demikian, tegas dia, gerakan internasional ICIS adalah gerakan diplomasi, bukan gerakan pemihakan ideologi dari negara-negara peserta. ”Sehingga kalau saya ke Saudi bukan berarti saya ini Wahabi, kalau saya ke China bukan berarti saya setuju neo komunisme, kalau saya ke Eropa barat dan Eropa Timur bukan berarti saya menyetujui Neo Liberalisme, begitu juga kalau saya ke Iran bukan saya setuju dengan Syiah. Karena tentu saya tidak mungkin menyalahkan atau mencaci maki sahabat Nabi,” katanya.
Menurut Kiai Hasyim, yang diperjuangkan ICIS di Indonesia dan internasional adalah Islam Rahmatan Lil Alamin dan pengenalan Pancasila sebagi alternatif ideologi negara yang penduduknya plural (tidak satu agama) agar tidak terjerumus menjadi negara sekuler. Embrio dari Islam Rahmatan Lil Alamin adalah Ahlussunnah wal jama’ah Annahdliyah.
Kiai Hasyim menegaskan bahwa saat terjadi pertikaian antara Saudi dan Iran pasti akan mengakibatkan kegoncangan dunia Islam termasuk Indonesia, karena baik Saudi maupun Iran mempunya underbow kelompok dan negara negara yang sangat mungkin ikut bertikai akibat pertikaian Saudi dan Iran tersebut. ”Oleh karenanya Indonesia harus berjaga-jaga jangan sampai kawasan negeri ini menjadi ring atau ajang pertempuran diantara mereka tetapi menggunakan warga negara indonesia. Semoga Allah SWT melindungi Nahdlatul Ulama dan bangsa Indonesia,” katanya.
Sebelumnya juga diberitakan, KH Syech Ali Akbar Marbun, Pengasuh Pondok Pesantren Al Kautsar Al Akbar Medan Sumatera Utara (Sumut), minta agar Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding-MoU) antara KH Said Aqil Siradj selaku Ketua Umum PBNU periode 2010 – 2015 dengan Jami’ah Al-Musthafa Al-Alamiyah (Al-Musthafa International University – MIU) Republik Islam Iran dicabut. ”Pencabutan tersebut harus dilakukan secara terbuka,” kata Syech Ali Akbar dalam keterangan tertulisnya yang diterima BANGSAONLINE.com, Kamis (8/11/2015).
Menurut Kiai Syech Ali, MoU itu dilakukan pada tanggal 29 – 11 – 1432 H bertepatan dengan 27 – Oktober – 2011 Masehi di Kota Qom Iran. Berarti MoU itu kini sudah berusia 4 tahun. Artinya, jika tidak diperpanjang maka pada bulan inilah MoU itu berakhir.
Berita ini berawal dari temuan KH. Kholil Nafis, PhD yang saat itu menjabat Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU. Kiai asal Madura inilah yang menemukan dokumen MoU tersebut ketika di Iran. ”Ya, betul. Dalam rapat Syuriah (PBNU) saat itu Said Aqil menyangkal (melakukan MoU),” kata Kiai Kholil Nafis yang sehari-harinya mengajar ekonomi syariah di Universitas Indonesia (UI) kepada BANGSAONLINE.com, Kamis (8/11/2015). Said Aqil dengan meyakinkan di depan para kiai tak mengakui kalau ia telah menandatangani MoU.
Namun tak lama berselang Kiai Kholil Nafis pergi ke Iran dalam rangka tugas akademik dari UI. Ketika ia berkunjung ke Jami’ah Al-Musthafa Al-Alamiyah Qom Iran itulah ia menemukan dokumen kerjasama yang ditandatangan Prof Dr Said Aqil Siradj, MA selaku ketua umum PBNU dan Prof Dr Ali Reza Aarafi selaku Direktur Utama Jami’ah Almusthafa Al Alamiyah. Dokumen itu berisi kerjasama di bidang pendidikan, riset dan kebudayaan bertanggal 27 Oktober 2011 yang dibuat dalam dua bahasa, Persia dan Indonesia.
Kiai Kholil Nafis langsung memfoto kopi MoU yang berbahasa Indonesia karena ia mengaku tak terlalu paham bahasa Persia. ”Foto kopinya saya berikan kepada Pak Malik Madani,” tutur Kiai Kholil Nafis kepada BANGSAONLINE.com. Saat itu KH Dr Malik Madani adalah Katib Am Syuriah PBNU.
Para kiai di jajaran Syuriah PBNU kemudian kembali menggelar rapat untuk membahas kejasama Said Aqil dengan Iran yang tanpa sepengetahuan pengurus PBNU yang lain itu. ”Tapi Said Aqil tak datang Rapat Syuriah (PBNU) itu di lantai empat (gedung PBNU). Padahal Said Aqil ada di lantai tiga,” kata Kiai Kholil Nafis lagi.
Menurut Kiai Kholil Nafis, rapat Syuriah PBNU membahas penolakan MoU tersebut. ”Tapi kalau Said Aqil tak mencabut, MoU itu tetap berjalan. Dan MoU itu akan diperpanjang dengan sendirinya jika tak ada pencabutan,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa MoU PBNU-Iran itu berjangka 4 tahun. ”Sekarang ini Oktober persis 4 tahun. Kalau tak ada pencabutan akan terus diperpanjang dengan sendirinya,” katanya.
Kiai Kholil minta agar para kiai menyimak MOU tersebut. ”MoU itu berakhir bulan ini (Oktober) tapi bila tak distop secara tertulis maka diperpanjang dengan sendirinya. Lihat isi MoU tentang jangka waktunya.Kan sampai sekarang Said Aqil tak mengikuti keputusan Syuriah (PBNU). Sampai sekarang MoU itu tidak dibatalkan secara tertulis. Berarti akan lanjut,” kata Kiai Kholil Nafis.
Namun Said Aqil menyangkal. Ia mengaku tak pernah tandatangan MOU tersebut. Menurut dia, tandatangan dalam MOU tersebut bukan tanda tangan dia.
Kiai Kholil Navis lalu membandingkan antara tandatangan di MOUdan tandatangan Said Aqil di SK kepengurusan PBNU. “Hasilnya sama,” katanya. [BO]