Pertarungan amat strategis akan kembali disuguhkan kepada publik oleh institusi Polri, KPK dan TNI dalam memperebutkan pimpinan KPK yang baru.
Sejarah masa lalu yang diwarnai dengan luka dan traumatis institusi ditambah dengan kepentingan melindungi diri, membuat masing-masing institusi berebutan memimpin KPK hingga lima tahun ke depan. Mengapa Polri, TNI dan Pejabat KPK sekarang memperlihatkan gelagat ketertarikan mereka memimpin lembaga anti rasuah itu ke depan? Mari kita cermati lebih lanjut dengan hati sabar, badan rileks dan pikiran jernih.
Saat KPK dipimpin oleh Taufiqurrahman Ruki (2004-2008) yang nota bene dari institusi Polri dengan pangkat Irjen polisi, tak ada satu pun jenderal polisi yang ditetapkan menjadi tersangka. Ruki, sama sekali tidak tega atau berani menetapkan koleganya menjadi tersangka. Bahkan saat kembali menjadi pimpinan sementara KPK 2015, Ruki malah menyerahkan pengusutan kasus Komjen Budi Gunawan kepada Kejaksaan pasca kemenangan Budi Gunawan di pra-peradilan. Lalu Kejaksaan yang sudah mandul bila berurusan dengan polisi, menyerahkan kasus Budi Gunawan kepada Polri. Kemudian Polri dengan gagah perkasa dan tanpa dosa menyatakan bahwa kasus Budi Gunawan sudah clear.
Keberanian KPK mengusut jenderal polisi baru dimulai sejak Antasari Azhar memimpin KPK (2007-2009). Pada saat itu Antasari berani menetapkan mantan Kapolri Jenderal Rusdihardjo sebagai tersangka terkait kasus dugaan pungutan liar saat dia menjabat Kepala Dubes RI di KBRI Malaysia. Taring KPK semakin menggigit saat dipimpin oleh Abraham Samad (2011-2015). Pada masa Abraham Samad, institusi Polri benar-benar dipermalukan saat Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo dan Bringjen Didik Purnomo ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka terkait kasus simulator SIM. Tidak berhenti sampai di situ, KPK kembali menohok habis institusi Polri dengan amat berani menetapkan Komjen Budi Gunawan, calon Kapolri, sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap gratifikasi. Ini kemudian membuat institusi Polri benar-benar traumatis berurusan dengan KPK.
Bagi Polri, penetapan jenderal polisi sebagai tersangka korupsi sangat mengusik harga diri mereka. Maka tak heran saat Budi Gunawan menang di praperadilan Jakarta Selatan, anggota Polri saat itu yang berjaga di Pengadilan Jakarta Selatan, langsung bersujud syukur berlinangan air mata saat mendengar kemenangan Budi Gunawan. Itu adalah salah satu bukti bahwa perasaan sekorps di institusi Polri sangat kental. Runtutan kejadian itu tak bisa dipisahkan ketika hanya beberapa hari setelah menjabat Kabareskrim Polri, Budi Waseso langsung menyusun skenario membalas dendam kepada KPK. Dendam membara institusi Polri yang terwakilkan dalam diri Kabareskrim Budi Waseso dimulai dengan penangkapan Bambang Widjajanto, penetapan tersangka Abraham Samad dan kemudian Novel Bawedan dan mengincar habis para penyidik KPK lainnya. Namun balas dendam yang berhasil menghancurkan KPK itu tidak serta merta memuaskan Polri.
Saat Polri melihat TNI mulai memperlihatkan keinginan memimpin institusi KPK, bayangan traumatis atas sepak terjang KPK kembali menghantui Polri. Maka sebagai antisipasi, Polri mendorong anggota Polri untuk ikut mendaftar kepada pansel KPK menjadi pimpinan KPK. Tiga putera terbaik Bhayangkara itu adalah dua perwira tinggi Polri yakni Irjen Yotje Mended an Irjen Syahrur Mama serta seorang purnawirawan polisi Irjen (purn) Benny Mamoto. Tujuan Polri mendorong anggotanya untuk ikut masuk bursa calon KPK adalah untuk membela kepentingan Polri dengan mencegah traumatis Polri terulang dan mengimbangi TNI yang kemungkinan ikut bursa calon pimpinan KPK.
Hancurnya KPK di tangan Polri oleh aksi-aksi Kabareskrim Budi Waseso, telah menyisakan duka dan luka mendalam bagi para mantan pimpinan KPK dan juga para pimpinan sementara KPK sekarang seperti Johan Budi, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja. Kehebatan KPK saat mengusut Irjen Polisi Djoko Susilo, Bringjen Didik Purnomo dan bahkan berhadapan dengan mantan Kabareskrim Susno Djuaji karena pada saat itu Presiden SBY membela KPK, kini tinggal kenangan. Kepercayaan diri dan salah perhitungan para pimpinan KPK saat menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, telah membuat KPK jatuh ke titik nadir. Rupanya Jokowi sangat berbeda dengan SBY. Saat Polri mengobok-obok KPK, Jokowi seolah membiarkan KPK berjuang sendiri tanpa berupaya lebih keras menghentikan pukulan-pukulan maut Polri.
Bagi institusi KPK sendiri, ada keyakina baru bahwa kelima pimpinan KPK ke depan tidak akan bergigi jika para pimpinan KPK hanya berlatar belakang sipil, pengacara, jaksa atau penggiat anti korupsi. Berkaca atas superioritas Polri seperti yang dipertontonkan oleh Kabereskrim Budi Waseso, maka KPK membutuhkan sosok militer yang dapat mengimbangi dan mencegah keleluasaan Polri mengobok-obok KPK ke depan. Di samping itu butuh sosok militer untuk memimpin KPK yang mampu mengusut anggota Polri yang terlibat korupsi. Data Survei Global Corruption Barometer (GBC) 2013 yang dirilis oleh Transparency International (TI) menempati kepolisian dan parlemen sebagai lembaga yang dianggap paling korup oleh masyarakat. Maka amat logis jika insitusi KPK sendiri yang telah dilukai oleh Polri, ingin TNI masuk dalam bursa calon pimpinan KPK.
Keinginan KPK yang mendorong TNI memimpin KPK ke depan mendapat sambutan hangat dari TNI itu sendiri. Nama-nama jenderal TNI yang masuk bursa calon pimpinan KPK memang masih dirahasiakan oleh Pansel KPK. Namun ada satu nama yang kerap disebut yakni Mayjen TNI (purn) Hendarji Soepandji (mantan Danpuspom), masuk bursa calon. Informasinya selain nama itu masih ada sekitar tiga orang lain yang berstatus TNI.
Masuknya TNI dalam memimpin KPK, sebetulnya lebih pada perseteruan kedua institusi. Sejak Dwi fungsi ABRI dihapus karena desakan gerakan reformasi tahun 1998, maka praktis wewenang keamanan diambil alih oleh Polri sedangkan TNI berfokus kepada pertahanan. Dominannya TNI yang sering jadi ‘centeng’ semasa Orde Baru telah membuat TNI sangat ditakuti saat itu. Namun sejak reformasi, tugas dan wewenangnya yang telah diambil oleh Polisi, telah membuat TNI cemburu. Bentrokan yang terjadi antara prajurit TNI dan angota Polri di berbagai tempat adalah lebih disebabkan oleh faktor memperoleh nafkah di mana dulu TNI bisa menjadi ‘centeng’ dalam tanda kutip. Dalam urusan keamanan dalam negeri, TNI kini kehilangan mata pencaharian yang nota bene telah diambil alih oleh polisi.
Maka bisa diamini secara logis jika alasan TNI masuk KPK bertujuan untuk ikut mengawasi Polri yang lebih banyak ‘mata pencahariannnya’ dari pada TNI. TNI ingin memastikan bahwa rejeki yang diperoleh polisi dari masyarakat benar-benar halal dan bukan atas hasil korupsi. Dengan kata lain, TNI ingin menjadi wasit rejeki Polri lewat KPK. Maka tugas Pansel KPK-lah untuk benar-benar mencari bibit, bobot dan bebet para pimpinan KPK ke depan. Tugas itu menjadi beban berat bagi kesembilan Srikandi Pansel KPK. Apakah mereka akan tunduk pada tekanan-tekanan baik dari Polri, TNI, DPR, atau institusi KPK sendiri untuk menyusupkan calon dari masing-masing institusi tersebut. Yang jelas kursi panas pimpinan KPK menjadi rebutan amat strategis Polri, TNI.