Para ulama muda di Jakarta di bawah kepemimpinan KH Fahmi Salim MA, jauh-jauh hari telah mengingatkan masyarakat muslim Jakarta tentang pemikiran dan sikap Ahok.
Oleh: Dr. Adian Husaini
TAHUN 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya berawal ketika pada 26 November 1988, Viking Penguin menerbitkan novel Salman Rushdie berjudul The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel ini segera memicu kemarahan umat Islam yang luar biasa di seluruh dunia. Memang, isi Novel ini amat sangat biadab. Rushdie menulis tentang Nabi Muhammad saw, Nabi Ibrahim, istri-istri Nabi (ummahatul mukminin) dan juga para sahabat Nabi dengan menggunakan kata-kata kotor yang sangat menjijikkan.
Dalam novel setebal 547 halaman ini, Nabi Muhammad saw, misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”Mahound, most pragmatic of Prophets.” Digambarkan sebuah lokasi pelacuran bernama The Curtain, Hijab, yang dihuni pelacur-pelacur yang tidak lain adalah istri-istri Nabi Muhammad saw. Istri Nabi yang mulia, Aisyah r.a., misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”pelacur berusia 15 tahun.” (The fifteen-year-old whore ’Ayesha’ was the most popular with the paying public, just as her namesake was with Mahound). (hal. 381).
Banyak penulis Muslim menyatakan, tidak sanggup mengutip kata-kata kotor dan biadab yang digunakan Rushdie dalam melecehkan dan menghina Nabi Muhammad saw dan istri-istri beliau yang tidak lain adalah ummahatul mukminin. Maka, reaksi pun tidak terhindarkan. Salman Rushdie dinilai melecehkan Islam, Nabi Muhammad dan al-Quran. Semua pihak yang terlibat dalam publikasinya yang sadar akan isi novel tersebut, harus dihukum mati. Pada 26 Februari 1989, Rabithah Alam Islami dalam sidangnya di Mekkah, yang dipimpin oleh ulama terkemuka Arab Saudi, Abd Aziz bin Baz, mengeluarkan pernyataan, bahwa Rushdie adalah orang murtad dan harus diadili secara in absentia di satu negara Islam dengan hukum Islam.
Pertemuan Menlu Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 13-16 Maret 1989 di Riyadh juga menyebut novel Rushdie sebagai bentuk penyimpangan terhadap Kebebasan Berekspresi. Prof. Alaeddin Kharufa, pakar syariah dari Muhammad Ibn Saud University, menulis sebuah buku khusus berjudul Hukm Islam fi Jaraim Salman Rushdie. Ia mengupas panjang lebar pandangan berbagai mazhab terhadap pelaku tindak pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw. Menurut Prof. Kharufa, jika Rushdie menolak bertobat, maka setiap Muslim wajib menangkapnya selama dia masih hidup.
Prof. Mohammad Hashim Kamali, dalam bukunya Freedom of Expression in Islam, (Selangor: Ilmiah Publishers, 1998), menggambarkan cara Rushdie menggambarkan istri-istri Rasulullah saw sebagai “simply too outrageous and far below the standards of civilised discourse.” (Cara penggambaran Rushdie tentang istri-istri Nabi sangat memalukan dan jauh di bawah standar nilai-nilai yang beradab). Penghinaan Rushdie terhadap Allah dan al-Quran, tulis Hashim Kamali, “are not only blasphemous but also flippant.” (Tindakan Salman Rushdie itu bukan hanya penghinaan, tetapi juga kurang ajar).
Setelah protes merebak di berbagai belahan dunia, Salman Rushdie akhirnya meminta maaf kepada umat Islam. Katanya, “ As author of ‘The Satanic Verses,’ I recognize that Muslims in many parts of the world are genuinely distressed by the publication of my novel… I profoundly regret the distress that publication has occasioned to sincere followers of Islam.” (http://www.nytimes.com/books/99/04/18/specials/rushdie-regret.html).
Dalam ajaran Islam, pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw termasuk kategori perbuatan kriminal kelas berat. Syaikhul Islam Ibn Taymiyah menulis kitab khusus berjudul “as-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul” (Pedang yang Terhunus untuk Penghujat Rasulullah saw). Tahun 2012, sebuah lembaga menawarkan hadiah Rp 31,4 milyar, untuk siapa saja yang bisa membunuh Salman Rushdie. (https://www.merdeka.com/dunia/harga-kepala-salman-rushdie-naik-menjadi-rp-314-miliar.html).
Salman Rushdie akhirnya menunai badai, karena mempermainkan ayat-ayat Allah dan melecehkan kehormatan Nabi Muhammad saw. Bagaimana dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)?
*****
Pada 18 November 2014, Forum Ulama Muda Jakarta (FUMJ) yang dipimpin KH Fahmi Salim MA, mengeluarkan taushiyah (nasehat) kepada kaum muslim Jakarta. Isinya, mengungkap fakta tentang buruknya pemikiran dan perilaku Ahok. Karena itu, Ahok dinilai FUMJ tidak memenuhi syarat sebagai Gubernur Jakarta, yaitu harus “bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Sesuai dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, Nomor: 07/Kpts/KPU-Prov-010/2011, bahwa bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta memiliki syarat-syarat antara lain: (1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; (3) Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari Tim Pemeriksa Kesehatan; (4) Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.
Penjelasan FUMJ tentang Ahok dua tahun lalu itu perlu kita renungkan, karena disampaikan dengan bijak dan penuh hikmah. Jika direnungkan, kasus Ahok dalam soal penyebutan “QS al-Maidah 51”, tak lepas dari sikap mempermainkan ayat-ayat Allah. Tindakan Ahok itu telah menyulut aksi demo jutaan umat Islam di seluruh penjuru Indonesia. Jika ditelaah, kesembronoan Ahok dalam kasus “al-Maidah 51” itu sepertinya tak lepas dari pemikiran dan sikap-sikap Ahok sebelumnya dalam soal keagamaan.
Berikut ini fakta dan penjelasan FUMJ tentang buruknya gagasan dan perilaku Ahok tentang masalah keagamaan selama ini:
Ahok mengajukan gagasan perlunya lokalisasi pelacuran. (http://megapolitan.kompas.com/read/2016/02/12/19010091/Ahok.Saya.Setuju.Legalisasi.Lokalisasi.Prostitusi.tetapi.Kita.Munafik). Gagasan Ahok itu menunjukkan ia tidak memahami masalah dengan baik, dan tidak mengkajinya dengan mendalam, dari aspek keagamaan, sosial, budaya, dan kesehatan. Sementara selama ini sudah terbukti dampak buruk lokalisasi pelacuran terhadap masyarakat, sehingga Gubernur DKI Sutiyoso menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak dan Walikota Surabaya Ibu Risma menutup lokalisasi Dolly. Sikap dan perilaku Ahok yang ceroboh dalam masalah yang sangat mendasar seperti ini sangat berbahaya jika dia memimpin DKI Jakarta. Itu menunjukkan, Ahok tidak memenuhi syarat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena mendukung lokalisasi pelacuran hanya dilihat dari kacamata ekonomi yang dibungkus seolah untuk mengontrol penyebaran virus HIV. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam yang dianut mayoritas warga DKI.
Dalam menyampaikan gagasannya, Ahok juga menggunakan kata-kata yang tidak santun, menuduh orang lain munafik dan sebagainya. (lihat http://www.merdeka.com/jakarta/merasa-disebut-munafik-aktivis-muhammadiyah-polisikan-ahok.html.). Sikap dan perilaku yang kasar, terkesan angkuh, sombong dan menimbulkan kontroversi. Hal ini jika dibiarkan akan mengganggu ketentraman masyarakat beragama, khususnya umat Islam. Pada akhirnya akan berimbas mengganggu ketahanan nasional karena DKI Jakarta adalah barometer nasional Indonesia. Ucapan dan perilaku Ahok tersebut juga menunjukkan bahwa dia tidak memahami kondisi sosial dan budaya masyarakat DKI Jakarta yang religius dan memiliki sensitivitas terhadap hal-hal keagamaan semacam ini.
Ahok juga telah menjadikan agama sebagai bahan olok-olok. Itu disampaikan Ahok saat memberikan sambutan dalam Pembukaan Rakerda I MUI DKI Jakarta 2014, di Balai Agung, Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2014): “Bapak Ibu jangan merasa saya musuh Islam. Dari kecil saya sejak lahir, 93% di sekeliling saya ada adalah muslim. Keluarga saya banyak yang muslim. Kalau persoalan saya enggak dapat hidayah, ya tanya sama Allah.”(http://news.detik.com/read/2014/11/12/095150/2745866/10/silaturahmi-dengan-mui-ahok-ada-yang-membenturkan-saya-lawan-islam?n991104466) Kata-kata Ahok itu jelas-jelas telah menjadikan agama sebagai permainan, sebab ia melecehkan arti hidayah dengan berbangga diri dalam keadaan tidak mendapatkan hidayah, lalu meminta orang lain menanyakan hal itu kepada Tuhan. Seakan-akan Allah telah salah karena tidak memberi petunjuk kepadanya. Ini tidak etis disampaikan oleh orang yang mengaku beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengusahakan penghapusan kolom agama di KTP. Pernyataan Ahok tentang perlunya penghapusan kolom agama di KTP juga dinyatakan dengan sangat tegas dan kasar, bahkan cenderung melecehkan agama, khususnya agama Islam. Berita di Situs Kristen (http://reformata.com/news/view/7797/ahok-tak-perlu-kolom-agama-di-ktp), 20 Juni 2014, yang berjudul, “Ahok: Tak Perlu Kolom Agama Di KTP”, ia mengatakan: “Kenapa mesti ada kolom agama di KTP? Untuk apa? Apa gunanya saya tahu agama kamu? tanya Ahok.” Selanjutnya, ditulis:
“Indonesia mencantumkan kolom agama di KTP, kata dia, hanya karena pengaruh budaya Timur Tengah, yang penuh dengan sejarah penaklukan agama, sehingga menyebabkan memunculkan agama mayoritas dan minoritas. Dalam konteks seperti ini identifikasi agama diperlukan. Sama sekali berbeda dengan kondisi beragama di Indonesia. Menurut Ahok, Indonesia adalah negara berasas Pancasila dan UUD 1945. Agama mayoritas, Islam pun masuk ke Indonesia bukan melalui penaklukan agama. Sehingga identifikasi agama, tidak dibutuhkan di sini. Karena itu, kata dia, pelaksanaan ritual beragama di Indonesia seharusnya tergantung kepada individu masing-masing dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain, apalagi negara. Karena itu dia sangat mendukung calon presiden yang ingin menghapus kolom agama di KTP.”
Pernyataan Ahok tentang penghapusan kolom agama di KTP ini bukan masalah sederhana dan hanya dilemparkan dalam pernyataan yang tanpa pertimbangan yang matang. Padahal bagi umat Islam, identitas keagamaan di KTP sangat diperlukan dalam pernikahan, pengobatan, dalam pengurusan jenazah, dalam sumpah jabatan, masalah warisan dan masih banyak lagi. Ahok nampaknya tidak memahami agama mayoritas warganya yaitu Islam yang selalu melekatkan identitas agamanya, di mana saja dan untuk kepentingan apa saja. Sebab Islam bukan hanya agama privat saja, tetapi juga agama publik. Sesuai dengan pasal 29 UUD 1945, umat Islam berhak menjalankan ibadah baik secara privat maupun secara publik. Jika Ahok memaksa orang Islam agar beragama secara privat, maka dia sudah tidak toleran dengan penganut agama selain agamanya.
Untuk memperkuat pendapatnya, Ahok pun tak segan-segan melakukan kebohongan publik, dengan menyatakan, bahwa di Malaysia, kolom agama juga tidak disebutkan dalam KTP Malaysia. Padahal, pernyataan Ahok itu terbukti salah. Lihat http://dunia.news.viva.co.id/news/read/466596-ahok-salah–ktp-malaysia-masih-cantumkan-kolom-agama, juga http://www.bersamadakwah.com/2013/12/pembohongan-publik-ahok-sebut-ktp.html
Masalah keagamaan ini sudah diatur dalam UUD 1945 dan UU No 1/PNPS/1965, sehingga sebagai pemimpin wilayah, harusnya Ahok memahami hal itu, dan tidak memunculkan kontroversi yang sangat menyakitkan bagi umat Islam. Apalagi, selama ini, secara umum, masyarakat Indonesia dan umat Islam juga tidak mengalami masalah dalam soal pencantuman kolom agama di KTP.
Melarang pemotongan hewan qurban di sekolah dan melakukan kebohongan publik. Kasus pelarangan pemotongan hewan kurban di sekolah oleh Ahok jelas tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta nomor 67 Tahun 2014 pada point 4.a.1: “melarang kegiatan pemotongan hewan kurban dilokasi pendidikan dasar”. Tetapi, Ahok membantah dan bahkan berbohong dengan mengatakan, yang menandatangani instruksi itu adalah Jokowi bukan dirinya. Padahal, di situs resmi Pemprov DKI Jakarta, Insgub itu jelas ditandatangai oleh Ahok selaku Plt Gubernur DKI Jakarta pada 17 Juli 2014. Lihat http://beritapopuler.com/ahok-dan-kebohongan-berlapis-soal-larangan-potong-hewan-qurban/
Menelaah berbagai pemikiran, ucapan, dan perilaku Ahok tersebut, FUMJ kemudian menyimpulkan: “Pikiran-pikiran Ahok yang mengecilkan masalah agama dalam kehidupan, menunjukkan bahwa dia tidak memahami kondisi sosial-budaya masyarakat DKI Jakarta. Pemimpin seperti ini sangat berpotensi untuk menanamkan benih-benih perpecahan dan permusuhan di tengah masyarakat. Ini berarti Ahok tidak mengenal masyarakat yang dipimpinnya dan dapat dikatakan bahwa dia tidak memenuhi syarat menjadi gubernur sesuai dengan keputusan KPU Nomor: 07/Kpts/KPU-Prov-010/2011, yaitu mengenal masyarakatnya,” tulis FUMJ dalam Taushiyahnya.
Salah satu kewajiban ulama adalah memberikan taushiyah kepada masyarakat. Para ulama muda di Jakarta di bawah kepemimpinan KH Fahmi Salim MA, jauh-jauh hari telah mengingatkan masyarakat muslim Jakarta tentang pemikiran dan sikap Ahok. Setelah melaksanakan tugasnya, ulama berserah diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari kasus Salman Rushdie, Ahok, dan sebagainya. Jangan sekali-kali mempermainkan ayat-ayat Allah! Apalagi, sampai memanipulasi makna ayat-ayat Allah untuk mendukung kekufuran dan kemusyrikan, demi sejumput kekuasaan yang menggiurkan.*/Depok, 7 November 2016
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Sumber:Hidayatullah