Mengenang Peristiwa Ninja 1998, Cikal Bakal PKI Jilid II
Suasana sangat mencekam di kampung-kampung sekitar. Meskipun letaknya sangat jauh dari radius pusat peristiwa pembantaian berantai dan berencana itu. Semua warga di kampung kian terkejut dan semakin ketakutan, jika para manusia berjubah ninja itu mendatangi rumah mereka.
Tak seperti sebelumnya, entah kenapa orang tuaku tak mengizinkanku bermain jauh-jauh dari rumah. Kondisi saat ku berusia sekitar 7 tahun menjelang menginjak Sekolah Dasar (SD). Dengan hati yang cemas, para warga kampung tidak berani keluar rumah ketika malam tiba. Ini adalah sebuah kenyataan pahit dalam hidupku, aku belum merasakan bahwa terdapat gesekan sosial dan polemik politik terselubung di kampung saat itu.
Setiap hari aku sering bersembunyi ketika aku bertemu orang yang baru ku kenal, aku lari darinya, entah kenapa saat itu aku ketakutan. Apalagi aku masih terngiang lagu Genjer-Genjer dalam film yang kulihat banyak tokoh agama dan tokoh nasional yang dibunuh oleh pasukan salah hasutan. Aku bersembunyi di belakang tripleks di belakang rumahku yang masih dalam tahap pembangunan setengah atap. Meskipun saat itu di puncak atap rumahmu, ku lihat bapak mengibarkan bendera Merah Putih, tetapi aku masih ketakutan. Ketakutan kepada doktrin-doktrin yang semerbak dari semua mulut teman dan orang tuaku.
“Hati-hati, sekarang banyak ninja, Nak”, kata bapakku.
“Apa itu ninja?”, aku bertanya dengan keluguan.
“Pokoknya hati-hati, nanti kalau kamu main jauh-jauh, aku takut kamu diculik, Nak,” jawab bapakku.
Entah kenapa, saat itu aku merasa sulit bernafas meskipun layaknya anak-anak setiap harinya main kesana dan kemari.
Aku sering diajak bapak pergi menyeberangi lautan Jawa menuju Madura untuk ziarah ke para sesepuh ulama Jawa. Ketika di Madura saat itu, bapak sering singgah ke kediaman KH. Fauzi (alm), tepatnya daerah Batu Ampar, Madura. Saat itu aku masih kurang mengerti ada kejadian penting apa sebenarnya, aku hanya bisa mengingat apa yang dibicarakan oleh bapak dan Kyai. Meskipun banyak ucapan yang telah ku lupa sebab masih terlalu mungilnya pemikiranku saat itu. Lalu, tak sengaja aku pergi ke dalam rumah KH. Fauzi, dan ternyata hanya bapak yang dipersilakan masuk oleh Kyai, jadi aku menanti dan sekejap melamun di teras rumah Kyai. Ketika bapak dan Kyai keluar, ternyata aku melihat para snatri Kyai mengeluarkan seonggok pedang, tombak, keris, pisau, samurai, clurit, hingga panah serta tulup. Kemudian terjadi perbincangan renyah antara bapak dengan Kyai namun dengan bahasa Madura, aku juga sedikit menerka apa yang sedang dimaksudkan Kyai.
“,..tahukah kau ini semua?”
“..apa itu Kyai, untuk apa Kyai tunjukkan kepada saya?”
“Ya, biar kamu tahu saja, ini adalah hasil rampasanku bersama para santriku terhadap sejumlah kelompok berpakaian seperti ninja itu. Mereka terus mengejarku dan mau membunuhku,..”
“Ya untung saja dengan kuasa Allah, aku selamat terus..”
“Dari mana saja Kyai peroleh ini senjata ini semua?”
“Ya macam-macam, sekarang mereka sedang menyebar ke daerah Madura, tapi pusat gerakannya di Banyuwangi, banyak orang yang dibunuh.”
Tidak lama kemudian setelah aku pulang ke kampung halaman, peristiwa “ninja” semakin menjadi-jadi. Tidak hanya di daerah pusatnya Banyuwangi tetapi menyebar hingga hampir seluruh wilayah Jawa Timur. Banyak pembunuhan yang sadis dan dalam kondisi korban yang mengenaskan saat itu. Banyak modus pembunuhan para tokoh agama yang dituduh sebagai dukun santet.
Tetapi tak lama ku dengar kabar, bahwa terdapat pertarungan sengit antara dua kubu ninja itu. Entah apakah mereka berbeda madzhab atau pihak yang menandingi gerakan ninja itu adalah pihak keamanan yang menyamar, yang jelas banyak pertarungan dan pembantaian antar ninja. Sungguh peristiwa 1998 itu tak akan hilang dari ingatanku.
Saat ini aku teringat masa itu, aku sempat berpikir bahwa jika para ulama dan semua lapisan masyarakat serta perangkat keamanan tidak mampu mengatasinya, maka akan timbul sebuah gerakan PKI jilid II.
Lagu Genjer-Genjer yang dulu mendeskripsikan derita rakyat Indonesia akibat penjajahan berubah haluan menjadi alunan simfoni gerakan radikalis anti Tuhan.
Penulis:Joko Ade Nursiyono
Sumber:Kompasiana