Kades Pengguna Ijazah Palsu, Dihukum Percobaan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya

0
1237
Kantor Pengadilan Tinggi Surabaya (Istimewa)

Reporter: Bawor Suradhie Hoki

Maduraexpose.com, Surabaya-Parti alias Watik Supartini, Kepala Desa nonaktif Desa Tawangrejo, Kecamatan Gemarang, Kab.Madiun,Prov.Jawa Timur). Pagi itu agak sedikit lega, karena putusan banding yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Surabaya membuahkan hasil, dari semula vonis di Pengadilan Negeri Mejayan, Kab.Madiun memutuskan; dinyatakan bersalah, secara syah dan disengaja menggunakan ijazah palsu, pidana 3 bulan.

Putusan PT Surabaya hanya menghukum percobaan 10 bulan pada perkara tersebut(No.527/PID/2014/PT Surabaya)  Namun demikian putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut rupanya masih juga belum membuat puas sepenuhnya bagi Parti. Atas putusan tersebut, saat sekarang Parti ajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mendapatkan hasil masksimal, yakni putusan bebas murni tanpa syarat.

“Saya akan berjuang maksimal, dengan cara apapun di MA agar perkara saya bisa menang dan mendapatkan putusan bebas murni, karena saya adalah Kepala Desa yang syah hasil dari pemilihan secara langsung oleh rakyat” demikian dikatakan Parti sesaat setelah menerima putusan dari Pengadilan Tinggi Surabaya.

Pengajuan kasasi perkara ijazah palsu Parti ke Mahkamah Agung RI akhirnya diterima oleh Mahkamah Agung pada tanggal 15 Mei 2015 dengan No.register:740/K/PID/2015. Untuk selanjutnya akan diadakan pemrosesan dengan waktu yang secara umum belum bisa diprediksi, ditolak, dipuututskan dengan putusan sama seperti di Pengadilan Tinggi Surabaya, divonis lebih tinggi dari putusan semula atau karena hal dan pasal tertentu bisa bebas murni, kita semua tidak tahu. Sekali lagi soal waktu/lama pemrosesan di MA berikut sampai dengan hasil putusan akhir yang dikeluarkan MA, masyarakat awam betul-betul awam dan tidak tahu seluk beluk hukum dengan segala lika-likunya.

Jika saja MA baru akan memutus perkara tersebut dengan waktu dua tahun, jelas ini akan membuat perjalanan roda pemerintahan di desa Tawangrejo, Kec.Gemarang,Kab.Madiun, terseok-seok menuju kelumpuhan total dan memicu konflik dimasyarakat semakin runcing dan melebar.

Gencarnya  upaya Pemerintah dalam rangka memberantas mafia pembuat/pengguna ijazah palsu, rupanya masih belum diimbangi pelaksanaan penerapan sanksi hukum oleh para penegak hukum di negeri kita, terlebih di Kabupaten Madiun.  Sebagaimana SE.

Menpan Reformasi Birokrasi, No.03 th 2015, Tentang Ijazah Palsu,  untuk semua instansi, SE tersebut masih jauh dari pelaksanaanya. Mengutip pendapat  Pakar hukum tata negara dari Universitas Khairun Ternate, Margarito Kamis mengatakan, pihak pembuat ataupun pengguna ijazah palsu harus dihukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia saat ini.

“Pemalsu dan pengguna ijazah palsu, keduanya adalah pelanggar hukum sehingga tidak ada alasan hanya menghukum salah satu pihak,” kata Margarito saat dihubungi.Pasal yang perlu diterapkan pada para pelaku tersebut, adalah 242 dan 243 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang keterangan palsu dan sumpah palsu.

Menurut Margarito, aturan tersebut adalah keharusan untuk diterapkan pada pengguna dan juga pembuat ijazah palsu.

“Justru salah jika tidak digunakan pada keduanya karena UU sendiri telah mengaturnya,” ujarnya. Praktik jual beli dan penggunaan ijazah palsu tersebut, lanjutnya, terutama dalam mencari jabatan, tidak sesuai dengan cita-cita bangsa yang ingin memiliki suatu negara bersih dan akuntabel dengan pejabat yang jujur. Ketika ditanya apakah perlu ada peningkatan hukuman untuk membuat efek jera bagi para pelaku, Margarito mengatakan bisa saja. Namun yang paling utama menurutnya adalah pemrosesan dan hukuman setimpal diterapkan.

“Dua-duannya harus ditindak dan diproses, karena dengan proses dan hukuman, sama artinya kita mencabut hak penggunaan ijazah palsu tersebut untuk digunakan dalam usahanya mencari jabatan,”ujarnya.

Terkait hukuman yang harus diberikan pada pejabat pemerintahan di kementerian dan lembaga, serta pejabat politik seperti kepala daerah, Margarito mengatakan mereka yang terlibat harus dicopot juga diberhentikan dari posisinya.

“Pejabat itu, baik pemerintahan dan politik, jika menggunakan ijazah palsu, seharusnya dicopot jabatannya dan diberhentikan,” ujarnya. Lebih lanjut, Margarito mengatakan calon kepala daerah dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, diatur agar pengguna ijazah palsu tidak bisa mencalonkan diri dan jika terpilih maka yang bersangkutan harus berhenti dari jabatannya.”Jadi, jika menemukankasus kejadian yang seperti itu, pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dan dihukum sesuai UU yang berlaku,” kata Margarito.

(***)