Siapa pemilik massa pemilih dalam kontestasi politik? Tidak bertuan alias mengambang ataukah mereka -pemilih itu- terikat pada hubungan emosional dengan ideologi tertentu?
Jawaban atas pertanyaan itu tidaklah gampang. Jika melihat kecenderungan pelaku kontestasi politik dalam pemilihan kepala daerah -gubernur, bupati, atau wali kota- atau pemilihan presiden, agaknya, mereka masih sangat yakin massa pemilih itu “milik” ideologi, komunitas dalam entitas tertentu.
Oleh sebab itu, para kandidat haruslah dapat menyatakan diri sebagai bagian dari “pemilik” massa pemilih itu. Dengan begitu, harapan meraup suara melalui pilihan yang didasarkan pada ikatan emosional terhadap ideologi atau komunitas tertentu menjadi sangat terbuka.
Simak saja, misalnya, banyak calon kepala daerah, calon gubernur atau calon wakil gubernur, atau calon bupati-wali kota atau calon wakil bupati-wakil wali kota, sedapat mungkin adalah tokoh yang berasal dari warna ideologi atau komunitas yang memiliki massa pemilih.
Karena itu pula, ketika maju ke medan laga pilkada, program-program rasional bukan menjadi garapan utama tim pemenangan calon. Ketika calon diperkenalkan kepada publik, yang ditonjolkan justru warna ideologi tertentu atau representasi komunitas tertentu.
Benarkah elan seperti itu yang terlihat dalam dinamika perilaku massa pemilih? Mereka masih kukuh untuk memilih calon dengan pertimbangan ikatan dan kedekatan emosional ideologi?
Dalam kenyataannya, dinamika perilaku memilih itu cenderung telah berubah. Sejumlah kemenangan calon dalam pilkada yang berasal dari kelompok warna ideologi minoritas atau yang sama sekali tidak jelas warna dan identitas politiknya menjadi bukti baru perubahan perilaku memilih.
Di Jawa Timur, kecenderungan itu diperlihatkan dalam pemilihan bupati Banyuwangi dan Jember (2005) dan pemilihan bupati Bojonegoro (2007). Di daerah tersebut, calon bupati yang menang dalam pilkada tidak berasal dari calon yang mewakili ideologi dominan.
Bahkan, di Bojonegoro, berbagai upaya memenangkan calon yang berasal dari ideologi dominan tidak mempan. Dukungan orang nomor satu parpol yang mewakili ideologi dominan serta pimpinan ormas keagamaan dominan juga gagal mengarahkan pemilih untuk mencoblos jagonya.
Perubahan perilaku memilih di daerah-daerah itu mungkin saja hanya kebetulan. Atau mungkin juga sebagai wujud baru tumbuhnya kesadaran rasional dengan pertimbangan akal sehat pula.
Tetapi, yang pasti, kekalahan calon bupati incumbent di Banyuwangi, Jember, dan Bojonegoro seolah menjelaskan kepada kita adanya indikasi yang terkait dengan kinerja bupati incumbent.
Kinerja Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Jember (2000-2005) dan kinerja Pemerintah Kabupaten Bojonegoro (2002-2007) kebetulan tergolong amat buruk. Ada di lapisan bawah.
Itu terlihat dari ranking kinerja pemerintah 38 kabupaten-kota di Jawa Timur yang dibuat The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) berdasarkan evaluasi dan monitoring program-program unggulan daerah yang rutin dilakukan setiap tahun.
Dua tahun menjelang pilkada, ranking kinerja Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Jember berada pada urutan 35-36. Ranking kinerja Pemerintah Kabupaten Bojonegoro sejak 2005 berada pada urutan 38 untuk pelayanan publik.
Tidak perlu terburu-buru membuat kesimpulan mengenai adanya perubahan perilaku memilih itu. Tetapi, indikasi tersebut patut menjadi warning bagi siapa pun tokoh yang ingin maju dalam pilkada.
|Indopos|Opini|Media|