Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Efran Basuning menilai polisi sangat lamban dalam menangani kasus dugaan penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang, Jawa Timur. Sehingga terjadi kasus dugaan pembunuhan aktivis lingkungan Salim Kancil.
“Saat itu, sebelum kejadian petugas kepolisian kan sudah tahu kalau ada dua kubu yang setuju dan tidak setuju terkait dengan aksi penambangan pasir ilegal. Kubu yang setuju penambangan adalah Kepala Desa Selok Awar-Awar dan kubu yang tidak setuju adalah Tosan dan kawan-kawan,” katanya di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (17/3/2016).
Dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari mantan Babinkantibmas Polres Lumajang, Sigit Pramono itu terkuak jika saksi baru mengetahui terjadi penganiayaan setelah kejadian berlangsung.
“Dulu sewaktu kami menjadi aktivis, anggota polisi akan mendatangi kami jika kami akan melaksanakan demo supaya aksi yang dilakukan saat demo tidak bertindak anarkis. Lha ini sudah jelas-jelas ada dua kubu yang berseteru dan mengancam akan terjadi pembunuhan kok malah dibiarkan. Ini kan aneh,” katanya.
Sementara itu, dari keterangan saksi Sigit mengatakan, jika dirinya tidak mengetahui kalau lokasi penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar merupakan tindakan ilegal, karena dirinya hanya tahu kalau penambangan tersebut digunakan sebagai desa wisata.
“Saya selama 11 bulan bekerja di tempat tersebut tidak mengetahui kalau ada penambangan pasir ilegal karena saya tahunya hanya untuk pengembangan wisata desa, bukan sebagai penambangan pasir ilegal,” katanya.